IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID - Siang menjelang sore sekitar pukul 14.31 WIB, Rabu (15/1/2017)
rombongan tim Anjangsana Islam Nusantara Sekolah Tinggi Agama Islam
Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta sowan ke kediaman sesepuh NU KH Maimoen
Zubair di komplek Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa
Tengah.
Tim Anjangsana sebelumnya tetap
khidmat menunggu salah seorang Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) itu karena terlebih dahulu harus mengimami shalat dzuhur
berjamaah bersama santri Sarang. Usia Mbah Maimoen yang hampir menginjak
angka 90 tahun itu masih tegar setiap hari memimpin shalat berjamaah.
Kemurnian
para santri dalam mengabdi dan menimba ilmu kepada Mbah Maimoen tak
pernah surut. Bagi mereka, suatu kebahagiaan dan keberkahan tak ternilai
bisa menggandeng kiai sepuh setiap hari menuju masjid tempat shalat.
Sementara
santri lainnya nampak membetulkan arah sandal Mbah Maimoen agar beliau
tidak terlalu sulit memakai sandal ketika keluar masjid. Di sejumlah
pesantren, perilaku santri membetulkan sandal agar siap pakai memang
bukan hal baru. Bahkan para santri sering melakukan tradisi tersebut
ketika kiainya didatangi para tamu.
Ketika
Mbah Maimoen keluar masjid selesai mengimami shalat, salah seorang
santri bahkan secepat kilat datang di hadapan Mbah Maimoen untuk
memakaikan sandal di kakinya. Dari pemandangan tersebut, nampak jelas
pesantren tidak hanya berisi samudera ilmu, tetapi juga penuh dengan
gunungan akhlak mulia yang tertanam begitu dalam pada diri para santri.
Tak
lama setelah itu, romobongan Anjangsana diterima Mbah Maimoen di ruang
tamu. Selain rombongan dari Jakarta, ada juga tamu yang datang dari
Tuban. Sebelum Mbah Maimoen berujar, para tamu tidak ada yang berani
mendahului untuk membuka pembicaraan.
Sampai
tibalah Mbah Maimoen menyapa para tamu. Tim Anjangsana dipimpin oleh
Zastrouw Ngatawi menyampaikan maksud kedatangan rombongan yang berjumlah
17 orang. Mantan Ketua Lesbumi PBNU itu merendahkan badannya di hadapan
Mbah Maimoen yang tercatat salah seorang santri Hadlratussyekh KH
Hasyim Asy’ari tersebut.
Sekilas Mbah Maimoen
langsung paham apa yang dimaksud Zastrouw dan rombongan dalam upaya
memperkokoh sanad keilmuan dan wawasan kebangsaan. Setelah sekian menit
dalam keheningan, Mbah Maimoen masih terang dalam berujar dan penuh
dengan humor dalam beberapa penuturannya. Para tamu yang tadinya agak
sedikit kikuk seketika itu langsung mencair melihat senyum dan tawa Mbah Maimoen yang khas.
Dalam
persoalan menimba ilmu, Mbah Maimoen menyatakan bahwa ilmu itu harus
didatangi oleh manusia, karena ia tidak mendatangi. Sebab itu,
kedatangan rombongan Tim Anjangsana dengan maksud memperkokoh keilmuan
merupakan langkah yang tepat. Apalagi sekaligus menelusuri sanadnya
sehingga ilmu itu nyambung hingga ke pucuk sumber yang shahih, yaitu Nabi Muhammad.
“al-ilmu yu'ta wa la ya'tii. Ilmu itu didatangi bukan mendatangi dirimu,” tutur Mbah Maimoen Zubair dengan penuh kehikmatan menerangkan kepada para tamu.
Kiai
kelahiran Rembang, 28 Oktober 1928 silam itu mengumpamakan air di dalam
sumur yang harus ditimba. “Sebagaimana kita menginginkan air di dalam
sumur, kita harus menimbanya,” ujar Mbah Maimoen.
Tak
hanya terkait dengan esensi ilmu yang manusia harus terus menerus
menimba dan belajar, tetapi juga berbagai persoalan bangsa maupun
penjelasan sejarah meluncur deras dari mulutnya sehingga para tamu
nampak makin khidmat dalam menyimak paparan-paparan Mbah Maimoen.
Terkait
dengan persoalan kebangsaan dan politik yang terus mengalami
turbulensi, Mbah Maimoen berpesan agar tidak semua orang ikut larut
dalam permasalahan sehingga melupakan tugas terdekatnya sebagai manusia.
Hal ini akan berdampak pada ketidakseimbangan hidup dan kehidupan itu
sendiri.
Seperti persoalan politik di Ibu Kota Negara, menurutnya hal itu fardhu kifayah saja, bukan fardhu’ain
yang seolah seluruh masyarakat di Indonesia ikut larut dalam
hiruk-pikuk sehingga melupakan tugas penting yang melekat pada dirinya.
Mbah
Maimoen juga berpesan kepada santri dan seluruh masyarakat Indonesia
pada umumnya untuk menjaga tali silaturrahim, utamanya kepada guru-guru
dan kiai-kiai sepuh dalam menyikapi setiap persoalan bangsa maupun
konflik yang sering terjadi di tubuh organisasi.
Marwah
kiai dan pesantren merupakan ruh di tubuh organisasi seperti Nahdlatul
Ulama (NU). Sehingga setiap persoalan yang datang di tubuh NU, hendaknya
diselesaikan dengan musyawarah dan disowankan terlebih dahulu kepada
para kiai sepuh yang tentu pandangannya lebih luas dan arif.
nu.or.id
Posting Komentar