IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID - Langkah kakinya pendek-pendek. Tatapan matanya
sering ke arah depan. Jarang menunduk dan menengadah. Selalu tampak
tersenyum. Egaliter dan dialogis. Tak menonjolkan diri sebagai tokoh
penting di organisasi massa Islam terbesar negeri ini. Itulah KH Ma'ruf
Amin.
Kiai Ma'ruf adalah Rais Am PBNU
periode 2015-2020 sekaligus Ketua Umum MUI periode 2015-2020. Dua posisi
puncak yang dijabat secara sekaligus ini jarang dimiliki banyak orang.
Ulama yang mendapatkan posisi yang sama sebelum Kiai Ma'ruf adalah KH MA
Sahal Mahfudh, rahimahu Allah.
Namun, dalam
konteks NU, tak seperti para Rais Aam PBNU sebelum-sebelumnya yang
semuanya tinggal di daerah, Kiai Ma'ruf tinggal di jantung ibu kota
negara, Jakarta. Karena itu, ia mudah diakses oleh media. Ia bisa
diwawancara kapan saja. Terlebih beliau ngantor hampir tiap hari;
Senin-Selasa di Kantor MUI, Rabu-Kamis di kantor PBNU.
Penting
diketahui, Kiai Ma'ruf ini bukan tipe kiai yang suka berdiri di
belakang sebagai penjaga gawang. Jika diperlukan, beliau tak ragu maju
ke depan, memimpin "serangan". Ini karena beliau mengerti arah mata
angin. Hampir separuh usianya memang dihabiskan di dunia politik. Pernah
menjadi anggota lembaga legislatif, dari tingkat bawah hingga pusat.
Aktivitasnya
di ranah politik praktis ini yang menyebabkan sebagian orang lupa bahwa
Kiai Ma’ruf adalah seorang ahli fikih yang terampil. Para pelajar Islam
belakangan tampaknya jarang mendengar noktah-noktah pemikiran
keislamannya yang brilian. Padahal, hemat penulis, jika mau ditelusuri
jejak akademiknya, Kiai Ma'ruf ini memiliki peran cukup signifikan dalam
meletakkan fondasi pembaharuan pemikiran Islam terutama dalam NU.
Dulu
ketika NU diserang sebagai organisasi tempat berhimpunnya para
muqallid, Kiai Ma'ruf bersama para koleganya seperti Kiai Sahal, Gus
Dur, Gus Mus, Kiai Maimoen Zubair, Kiai Imron Hamzah, dan Kiai Wahid
Zaini membuat sejumlah terobosan penting. Salah satunya adalah dibukanya
pintu istinbath dan ilhaq dalam tubuh NU. Ini sudah dikukuhkan dalam keputusan Munas NU di Lampung, 21-25 Januari 1992.
Saat itu resistensi dari sejumlah kiai bermunculan. Menurut para kiai yang kontra, kerja istinbath dan ilhaq
itu adalah kerja akademik para mujtahid seperti para imam madzhab (Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad ibn Hanbal) atau
sekurangnya para ulama madzhab setingkat Imam Nawawi dan Imam Rofi'i.
Dan menurut mereka, di NU hingga sekarang tak ada kiai yang memenuhi
kualifikasi sebagai mujtahid. Karena itu, tawaran istinbath dan ilhaq
itu tak relevan bagi NU.
Penolakan itu terus
menggema, dari dulu bahkan hingga sekarang. Tapi tak ada langkah mundur
dari Kiai Ma'ruf dkk. Sekali layar terkembang, pantang surut ke tepian.
Hingga pidatonya dalam harlah NU ke 91 kemarin, Kiai Ma'ruf masih
menegaskan posisi akademik yang sama, yaitu penampikannya pada
tekstualisme dan kejumudan dalam berpikir.
Mengutip
Imam al-Qarafi, Kiai Ma'ruf menegaskan bahwa stagnan pada
bunyi-harafiah teks Islam tidak memadai untuk menjawab
persoalan-persoalan keumatan dan kebangsaan hari ini. Al-Qarafi berkata,
al-jumud 'alal manqulat dhalalun fi al din. Lebih bermasalah lagi, demikian Kiai Ma’ruf, adalah tekstualisme dalam memahami teks-teks keagamaan seperti dalam Kitab Kuning.
Sejak
awal 90-an hingga sekarang, Kiai Ma’ruf istiqomah berkampanye tentang
pentingnya memahami kitab kuning secara kontekstual, yaitu usaha untuk
memahami teks kitab kuning lengkap dengan memahami konteks ketika teks
itu disusun oleh pengarangnya.
Tak hanya itu.
Seperti umumnya para pembaharu Islam lain, Kiai Ma'ruf pun mengusung ide
kemaslahatan. Sebuah adagium yang potensial menghambat pendaratan
kemaslahatan dan menahan laju dinamisasi pemikiran Islam secara umum
coba dimodifikasi oleh Kiai Ma'ruf. Adagium itu di antaranya berbunyi, al-muhafadhah 'alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (memelihara yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Kaidah
ini sesungguhnya menuntut adanya keseimbangan antara merawat tradisi
dan upaya inovasi. Namun, dalam implementasinya, bobot merawat tradisi
lebih besar sehingga porsi untuk melakukan inovasi pemikiran kurang
memadai.
Dari segi substansi, kaidah itu tentu
tak bermasalah. Bahkan sangat baik. Namun, menurut Kiai Ma’ruf, kaidah
itu perlu dilengkapi. Kiai Ma'ruf menawarkan modifikasi kaidah itu
demikian, al-muhafadhah 'alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah wal ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah.
Poinnya,
menurut Kiai Ma’ruf, kemaslahatan itu harus selalu ditinjau ulang.
Sebab, “boleh jadi sesuatu dipandang maslahat hari ini, dua tiga tahun
lagi sudah tidak maslahat lagi”, tandas Kiai Ma’ruf. Karena itu,
penelusuran pada ditemukannya puncak kemaslahatan adalah kerja akademik
yang perlu terus menerus dilakukan.
Tapi,
sebagaimana para pemikir Islam lain, Kiai Ma’ruf tak membuka aktivitas
istinbath pada ranah ibadah. Urusan ibadah, beliau pasrah. Sementara di
ranah mu’amalah termasuk siyasah, Kiai Ma’ruf terus melakukan eksplorasi
dan inovasi-inovasi pemikiran. Semoga sehat selalu, Kiai.
KH Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU.
nu.or.id
Posting Komentar