Januari 2017


Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy’ari, bagian belakangnya juga sering dieja Asy’ari atau Ashari, lahir 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H) dan wafat pada 25 Juli 1947; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang, adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.

Riwayat Keluarga
KH Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga Kyai. Kakeknya, Kyai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kyai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.

Silsilah Nasab
Merunut kepada silsilah beliau, melalui Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) KH Hasyim Asy’ari memiliki garis keturunan sampai dengan Rasulullah dengan urutan lanjutan sebagai berikut:
Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin)
Abdurrohman / Jaka Tingkir (Sultan Pajang)
Abdul Halim (Pangeran Benawa)
Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda)
Abdul Halim
Abdul Wahid
Abu Sarwan
KH. Asy’ari (Jombang)
KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
Menurut catatan nasab Sa’adah BaAlawi Hadramaut, silsilah dari Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu sebagai berikut:
Husain bin Ali
Ali Zainal Abidin
Muhammad al-Baqir
Ja’far ash-Shadiq
Ali al-Uraidhi
Muhammad an-Naqib
Isa ar-Rumi
Ahmad al-Muhajir
Ubaidullah
Alwi Awwal
Muhammad Sahibus Saumiah
Alwi ats-Tsani
Ali Khali’ Qasam
Muhammad Shahib Mirbath
Alwi Ammi al-Faqih
Abdul Malik (Ahmad Khan)
Abdullah (al-Azhamat) Khan
Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan)
Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar)
Maulana Ishaq
dan ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri)

Pendidikan :Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren PP Langitan, Widang, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan KH Cholil Bangkalan.

KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.

Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.

Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi. Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng, Jombang. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.

Silsilah Keilmuan
KH Muhammad Saleh Darat, Semarang
KH Cholil Bangkalan
Kyai Ya’qub, Sidoarjo
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
Syaikh Mahfudz At-Tarmasi
Syaikh Ahmad Amin Al Aththar
Syaikh Ibrahim Arab
Syaikh Said Yamani
Syaikh Rahmaullah
Syaikh Sholeh Bafadlal
Sayyid Abbas Al Maliki
Sayyid Alwi bin Ahmad As Segaf
Sayyid Husain Al Habsyi
Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani
Sayyid Abdullah al-Zawawi
Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas
Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi

Memperoleh ijazah dari Habib Abdullah bin Ali Al Haddad
Penerus Beliau
(Murid) :
Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim dan setelah lulus dari pesantren Tebuireng, Jombang, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas, antara lain:
KH Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak Beras, Jombang
KH Bisri Syansuri, Pesantren Denanyar, Jombang
KH R As’ad Syamsul Arifin
KH Wahid Hasyim (anaknya)
KH Achmad Shiddiq
Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India)
Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah)
Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria)
KH R Asnawi (Kudus)
KH Dahlan (Kudus)
KH Shaleh (Tayu)

(Keturunan)
Berikut disampaikan silsilah keturunan beliau sampai dengan tingkat cucu
Nyai Khodijah, istri pertama yang merupakan putri dari Kyai Ya’qub, Sidoarjo. Meninggal dunia sewaktu Kyai Hasyim Asy’ari menuntut ilmu di Mekkah
Nyai Nafiqoh, istri kedua, setelah istri pertama wafat, yaitu putri dari Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.

Putra-putri dari Nyai Nafiqoh
(1) Hannah
(2) Khoiriyah
(3) Aisyah
(4) Azzah
(5) Abdul Wahid atau sering juga dipanggil sebagai Wahid Hasyim
(6) Abdul Hakim (Abdul Kholik)
(7) Abdul Karim
(8) Ubaidillah
(9) Mashuroh
(10) Muhammad Yusuf
Nyai Masruroh, istri ketiga, setelah istri kedua wafat, yaitu putri dari Kyai Hasan, pengasuh pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu:
(1) Abdul Qodir
(2) Fatimah
(3) Khotijah
(4) Muhammad Ya’kub

Jasa dan Karya Beliau !
Jasa Bagi Ahlussunnah wal Jamaah:
Komite Hijaz, sebagai Benteng Islam Tradisional
Sejarah Nahdlatul Ulama dan Kebangsaan serta Komite Hijaz
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.

Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.

Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdul Wahab Hasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.

Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.

Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.

Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.

Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.

Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH Abdul Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Mendirikan Nahdlatul Ulama
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.

Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.

Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak KH R As’ad Syamsul Arifin menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.

Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.

Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.

Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.

”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.

Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.

Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.

Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).

Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.

Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya KH Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).

Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.

Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Setelah dua tahun membangun pesantren Tebuireng, Jombang, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan.

Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.

Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.

Jasa Bagi Indonesia(Resolusi Jihad)
Peran Beliau dalam Kemerdekaan Indonesia
Perjuangan dan Penjajahan Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.

Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng, Jombang pun tak luput dari sasaran represif Belanda.

Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.

Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.

Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.

Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.

Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.

Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.

Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng, Jombang vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari KH Wahid Hasyim dan KH Abdul Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.

Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.

Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.

Kisah Teladan Beliau
Kesan Akhlak dan Kecerdasan:
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Cholil Bangkalan, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil.

Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”

Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.

Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga KH Cholil Bangkalan adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.

Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.

Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.

Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, KH Cholil Bangkalan. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH R As’ad Syamsul Arifin, KH Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Shiddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim.

Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.

Mengambil Cincin Gurunya dari Lubang WC
Salah satu rahasia seorang murid bisa berhasil mendapatkan ilmu dari gurunya adalah taat dan hormat kepada gurunya. Guru ada lah orang yang punya ilmu. Sedangkan murid adalah orang yang mendapatkan ilmu dari sang guru. Seorang murid harus berbakti kepada gurunya. Dia tidak boleh membantah apalagi menentang perintah sang guru (kecuali jika gurunya mengajarkan ajaran yang tercela dan bertentangan dengan syariat Islam maka sang murid wajib tidak menurutinya). Kalau titah guru baii, murid tidak boleh membantahnya.

Inilah yang dilakukan Kyai Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul ‘Ulama). Beliau nyantri kepada KH Cholil Bangkalan, Bangkalan. Di pondok milik Kyai Kholil, Kyai Hasyim dididik akhlaknya. Saban hari, Kyai Hasyim disuruh gurunya angon (merawat) sapi dan kambing. Kyai Hasyim disuruh membersihkan kandang dan mencari rumput. Ilmu yang diberikan Kyai Kholil kepada muridnya itu memang bukan ilmu teoretis, melainkan ilmu pragmatis. Langsung penerapan.

Sebagai murid, Kyai Hasyim tidak pernah ngersulo (mengeluh) disuruh gurunya angon sapi dan kambing. Beliau terima titah gurunya itu sebagai khidmat (penghormatan) kepada guru. Beliau sadar bahwa ilmu dari gunya akan berhasil diperoleh apabila sang guru ridlo kepada muridnya. Inilah yang dicari Kyai Hasyim, yakni keridoan guru. Beliau tidak hanya berhadap ilmu teoretis dari Kyai Kholil tapi lebih dari itu, yang diinginkan adalah berkah dari KH Cholil Bangkalan.

Kalau anak santri sekarang dimodel seperti ini, mungkin tidak tahan dan langsung keluar dari pondok. Anak santri sekarang kan lebih mengutamakan mencari ilmu teoretis. Mencari ilmu fikih, ilmu hadits, ilmu nahwu shorof, dan sebagainya. Sementara ilmu “akhlak” terapannya malah kurang diperhatikan.

Suatu hari, seperti biasa Kyai Hasyim setelah memasukkan sapi dan kambing ke kandangnya, Kyai Hasyim langsung mandi dan sholat Ashar. Sebelum sempat mandi, Kyai Hasyim melihat gurunya, Kyai Kholil termenung sendiri. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati sang guru. Maka diberanikanlah oleh Kyai Hasyim untuk bertanya kepada Kyai Kholil.

“Ada apa gerangan wahai guru kok kelihatan sedih,” tanya Kyai Hasyim kepada KH Cholil Bangkalan.
” Bagaimana tidak sedih, wahai muridku. Cincin pemberian istriku jatuh di kamar mandi. Lalu masuk ke lubang pembuangan akhir (septictank),” jawab Kyai Kholil dengan nada sedih.

Mendengar jawaban sang guru, Kyai Hasyim segera meminta ijin untuk membantu mencarikan cincin yang jatuh itu dan diijini. Langsung saja Kyai Hasyim masuk ke kamar mandi dan membongkar septictank (kakus). Bisa dibayangkan, namanya kakus dalamnya bagaimana dan isinya apa saja. Namun Kyai Hasyim karena hormat dan sayangnya kepada guru tidak pikir panjang. Beliau langsung masuk ke septictank itu dan dikeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kyai Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan.

Betapa riangnya sang guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya itu. Sampai terucap doa: “Aku ridho padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu”.

Demikianlah doa yang keluar dari KH Cholil Bangkalan. Karena yang berdoa seorang wali, ya mustajab. Tiada yang memungkiri bahwa di kemudian hari, Kyai Hasyim menjadi ulama besar. Mengapa bisa begitu? Disamping karena Kyai Hasyim adalah pribadi pilihan, beliau mendapat “berkah” dari gurunya karena gurunya ridho kepadanya.

Sumber: id.wikipedia.org, kumpulanbiografiulama.wordpress.com, dan berbagai sumber.

 IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID - Tak kenal maka tak sayang. Barangkali peribahasa itu tepat untuk menggambarkan keadaan Indonesia akhir-akhir ini, dimana orang tak hanya tak kenal dan tak sayang, tetapi bahkan justru memfitnah, membenci dan memaki, dengan orang yang belum dikenalnya di media. Tak terkecuali, berbagai fitnah, berita palsu (hoax) dan makian yang dialamatkan kepada Prof Dr KH Said Aqil Siradj, MA, Ketua Umum Ormas Islam terbesar di dunia: Nahdlatul Ulama (NU).

Untuk itu, tulisan ini sedikit mengupas profil beliau, sosok santri yang dulu pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (MWA UI) itu dinobatkan oleh Republika sebagai Tokoh Perubahan Tahun 2012 karena kontribusinya dan komitmennya dalam mengawal keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan berperan aktif dalam perdamaian dunia, khususnya di kawasan Timur Tengah. 

***
Ketika usia negara ini masih belia – delapan tahun – dan para pendiri bangsa baru beberapa tahun menyelesaikan “status kemerdekaan” Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, di sebuah desa bernama Kempek, Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, senyum bahagia KH Aqil Siroj mengembang. Tepat pada 3 Juli 1953, Pengasuh Pesantren Kempek itu dianugerahi seorang bayi laki-laki, yang kemudian diberi nama Said.

Said kecil kemudian tumbuh dalam tradisi dan kultur pesantren. Dengan ayahandanya sendiri, ia mempelajari ilmu-ilmu dasar keislaman. Kiai Aqil sendiri – Ayah Said – merupakan  putra Kiai Siroj, yang masih keturunan dari Kiai Muhammad Said Gedongan. Kiai Said Gedongan merupakan ulama yang menyebarkan Islam dengan mengajar santri di pesantren dan turut berjuang melawan penjajah Belanda. 

“Ayah saya hanya memiliki sepeda ontel, beli rokok pun kadang tak mampu. Dulu setelah ayah memanen kacang hijau, pergilah ia ke pasar Cirebon. Zaman dulu yang namanya mobil transportasi itu sangat jarang dan hanya ada pada jam-jam tertentu,” kenang Kiai Said dalam buku Meneguhkan Islam Nusantara; Biografi Pemikiran dan Kiprah Kebangsaan (Khalista: 2015).

Setelah merampungkan mengaji dengan ayahanda maupun ulama di sekitar Cirebon, dan umur dirasa sudah cukup, Said remaja kemudian belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur yang didirikan oleh KH Abdul Karim (Mbah Manaf). Di Lirboyo, ia belajar dengan para ustadz dan kiai yang merawat santri, seperti KH Mahrus Ali, KH Marzuki Dahlan, dan juga Kiai Muzajjad Nganjuk.

Setelah selesai di tingkatan Aliyah, ia melanjutkan kuliah di Universitas Tribakti yang lokasinya masih dekat dengan Pesantren Lirboyo. Namun kemudian ia pindah menuju Kota Mataram, menuju Ngayogyokarta Hadiningrat. Di Yogya, Said belajar di Pesantren Al-Munawwir, Krapyak dibawah bimbingan KH Ali Maksum (Rais Aam PBNU 1981-1984). Selain mengaji di pesantren Krapyak, ia juga belajar di IAIN Sunan Kalijaga, yang ketika itu KH Ali Maksum menjadi Guru Besar di kampus yang saat ini sudah bertransformasi menjadi UIN itu.

Ia merasa belum puas belajar di dalam negeri. Ditemani istrinya, Nurhayati, pada tahun 1980, ia pergi ke negeri kelahiran Nabi Muhammad SAW: Makkah Al-Mukarramah. Di sana ia belajar di Universitas King Abdul Aziz dan Ummul Qurra, dari sarjana hingga doktoral. Di Makkah, setelah putra-putranya lahir, Kang Said – panggilan akrabnya – harus mendapatkan tambahan dana untuk menopang keluarga. Beasiswa dari Pemerintah Saudi, meski besar, dirasa kurang untuk kebutuhan tersebut. Ia kemudian bekerja sampingan di toko karpet besar milik orang Saudi di sekitar tempat tinggalnya. Di toko ini, Kang Said bekerja membantu jual beli serta memikul karpet untuk dikirim kepada pembeli yang memesan.

Keluarga kecilnya di Tanah Hijaz juga sering berpindah-pindah untuk mencari kontrakan yang murah. “Pada waktu itu, bapak kuliah dan sambil bekerja. Kami mencari rumah yang murah untuk menghemat pengeluaran dan mencukupkan beasiswa yang diterima Bapak,” ungkap Muhammad Said, putra sulung Kang Said.

Dengan keteguhannya hidup ditengah panasnya cuaca Makkah di siang hari dan dinginnya malam hari, serta kerasnya hidup di mantan “tanah Jahiliyyah” ini, ia menyelesaikan karya tesisnya di bidang perbandingan agama: mengupas tentang kitab Perjanjian Lama dan Surat-Surat Sri Paus Paulus. Kemudian, setelah 14 tahun hidup di Makkah, ia berhasil menyelesaikan studi S-3 pada tahun 1994, dengan judul: Shilatullah bil-Kauni fit-Tashawwuf al-Falsafi (Relasi Allah SWT dan Alam: Perspektif Tasawuf). Pria yang terlahir di pelosok Jawa Barat itu mempertahankan disertasinya – diantara para intelektual dari berbagai dunia – dengan predikat Cumlaude.

Ketika bermukim di Makkah, ia juga menjalin persahabatan dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). “Gus Dur sering berkunjung ke kediaman kami. Meski pada waktu itu rumah kami sangat sempit, akan tetapi Gus Dur menyempatkan untuk menginap di rumah kami. Ketika datang, Gus Dur berdiskusi sampai malam hingga pagi dengan Bapak,” ungkap Muhammad Said bin Said Aqil. Selain itu, Kang Said juga sering diajak Gus Dur untuk sowan ke kediaman ulama terkemuka di Arab, salah satunya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki. 

Setelah Kang Said mendapatkan gelar doktor pada 1994, ia kembali ke tanah airnya: Indonesia. Kemudian Gus Dur mengajaknya aktif di NU dengan memasukkannya sebagai Wakil Katib ‘Aam PBNU dari Muktamar ke-29 di Cipasung. Ketika itu, Gus Dur “mempromosikan” Kang Said dengan kekaguman: “Dia doktor muda NU yang berfungsi sebagai kamus berjalan dengan disertasi lebih dari 1000 referensi,” puji Gus Dur. Belakangan, Kang Said juga banyak memuji Gus Dur. “Kelebihan Gus Dur selain cakap dan cerdas adalah berani,” ujarnya, dalam Simposium Nasional Kristalisasi Pemikiran Gus Dur, 21 November 2011 silam.

Setelah lama akrab dengan Gus Dur, banyak kiai yang menganggap Kang Said mewarisi pemikiran Gus Dur. Salah satunya disampaikan oleh KH Nawawi Abdul Jalil, Pengasuh Pesantren Sidogiri, Pasuruan, ketika kunjungannya di kantor PBNU pada 25 Juli 2011. Kunjungan waktu itu, merupakan hal yang spesial karena pertama kalinya kiai khos itu berkunjung ke PBNU – di dampingi KH An’im Falahuddin Mahrus Lirboyo. Kiai Nawawi menganggap bahwa Kang Said mirip dengan Gus Dur, bahkan dalam bidang ke-nyelenehan-nya. 

“Nyelenehnya pun juga sama,” ungkap Kiai Nawawi, seperti dikutip NU Online. “Terus berjuang di NU tidak ada ruginya. Teruslah berjuang memimpin, Allah akan selalu meridloi,” tegas Kiai Nawawi kepada orang yang diramalkan Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU di usia lebih dari 55 tahun itu.

Menjaga NKRI dan mengawal perdamaian dunia

Pada masa menjelang kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1936, para ulama NU berkumpul di Banjarmasin untuk mencari format ideal negara Indonesia ketika sudah merdeka nantinya. Pertemuan ulama itu menghasilkan keputusan yang revolusioner: (1) negara Darus Salam (negeri damai), bukan Darul Islam (Negara Islam); (2) Indonesia sebagai Negara Bangsa, bukan Negara Islam. Inilah yang kemudian menginspirasi Pancasila dan UUD 1945 yang dibahas dalam Sidang Konstituante – beberapa tahun kemudian. Jadi, jauh sebelum perdebatan sengit di PPKI atau BPUPKI tentang dasar negara dan hal lain sebagainya, ulama NU sudah terlabih dulu memikirkannya.

Pemikiran, pandangan dan manhaj ulama pendahulu tentang relasi negara dan agama (ad-dien wa daulah) itu, terus dijaga dan dikembangkan oleh NU dibawah kepemimpinan Kang Said. Dalam pidatonya ketika mendapat penganugerahan Tokoh Perubahan 2012 pada April 2013, Kiai Said menegaskan sikap NU yang tetap berkomitmen pada Pancasila dan UUD 1945. “Muktamar (ke-27 di Situbondo-pen) ini kan dilaksanakan di Pesantren Asembagus pimpinan Kiai As’ad Syamsul Arifin. Jadi, pesantren memang luar biasa pengaruhnya bagi bangsa ini. Meski saya waktu itu belum menjadi pengurus PBNU,” kata Kiai Said, mengomentari Munas Alim Ulama NU 1983 dan Muktamar NU di Situbondo 1984 yang menurutnya paling fenomenal dan berdampak dalam pandangan kebangsaan.

Sampai kini, peran serta NU dalam hal kebangsaan begitu kentara kontribusinya, baik di level anak ranting sampai pengurus besar, di tengah berbagai rongrongan ideologi yang ingin menggerogoti Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini tercermin dalam berbagai kegiatan dan program NU yang selalu mengarusutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam konteks ini, Kiai Said sangat berpengaruh karena kebijakan PBNU selalu diikuti kepengurusan dibawahnya – termasuk organisasi sayapnya.

Salah satu peran yang cukup solutif, misalnya, ketika beliau menaklukkan Ahmad Mushadeq – orang yang mengaku sebagai Nabi di Jakarta dan menimbulkan kegaduhan nasional – lewat perdebatan panjang tentang hakikat kenabian (2007). “Alhamdulillah, doa saya diterima untuk bertemu ulama, tempat saya bermudzakarah (diskusi). Sekarang saya sadar kalau langkah saya selama ini salah,” aku Mushadeq. Disisi lain, Kang Said juga mengakui kehebatan Mushadeq. “Dia memang hebat. Paham dengan asbabun nuzul Al-Qur’an dan asbabul wurud Hadits. Hanya sedikit saja yang kurang pas, dia mengaku Nabi, itu saja,” jelas Kiai Said seperti yang terekam dalam Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amaliah dan Uswah (Khalista & LTN NU Jatim, Cet II 2014).

Kiai yang mendapat gelar Profesor bidang Ilmu Tasawuf dari UIN Sunan Ampel Surabaya ini bersama pengurus NU juga membuka dialog melalui forum-forum Internasional, khususnya yang terkait isu-isu terorisme, konflik bersenjata dan rehabilitasi citra Islam di Barat yang buruk pasca serangan gedung WTC pada 11 September 2001. Ia juga kerapkali membuat acara dengan mengundang ulama-ulama dunia untuk bersama-sama membahas problematika Islam kontemporer dan masalah keumatan.

Pada Jumat, 7 Maret 2014, Duta Besar Amerika untuk Indonesia Robert O. Blake berkunjung ke kantor PBNU. Ia menginginkan NU terlibat dalam penyelesaian konflik di beberapa negara. “Kami berharap NU bisa membantu penyelesaian konflik di negara-negara dunia, khususnya di Syria dan Mesir. NU Kami nilai memiliki pengalaman membantu penyelesaian konflik, baik dalam maupun luar negeri,” kata Robert, seperti dilansir NU Online. “Sejak saya bertugas di Mesir dan India, saya sudah mendengar bagaimana peran NU untuk ikut menciptakan perdamaian dunia,” imbuhnya.

Raja Yordania Abdullah bin Al-Husain (Abdullah II) juga berkunjung ke PBNU. Ia ditemui Kiai Said, meminta dukungan NU dalam upaya penyelesaian konflik di Suriah. “Di Timur Tengah, tidak ada organisasi masyarakat yang bisa menjadi penengah, seperti di Indonesia. Jika ada konflik, bedil yang bicara,” ungkap Kiai Said.

Selain itu, menguapnya kasus SARA di Indonesia belakangan juga kembali marak muncul ke permukaan. “Munculnya kerusuhan bernuansa agama memang sangat sering kita temukan. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia harus terus belajar pentingnya toleransi dan kesadaran pluralitas. Sikap toleransi tersebut dibuktikan oleh Kaisar Ethiopia, Najashi (Negus) ketika para sahabat ditindas oleh orang-orang Quraisy di Mekkah dan memutuskan untuk hijrah ke Ethiopia demi meminta suaka politik kepadanya. Kaisar Negus yang dikenal sebagai penguasa beragama Nasrani itu berhasil melindungi para sahabat Nabi Muhammad SAW dari ancaman pembunuhan kafir Quraisy,” tulis Kiai Said dalam Dialog Tasawuf Kiai Said: Akidah, Tasawuf dan Relasi Antarumat Beragama (Khalista, LTN PBNU & SAS Foundation, Cet II, 2014).

Menghadapi potensi konflik horisontal itu, NU juga tetap mempertahankan gagasan Darus Salam, bukan Darul Islam, yang terinspirasi dari teladan Nabi Muhammad dalam Piagam Madinah. Dalam naskah tersebut, nabi membuat kesepakatan perdamaian, bahwa muslim pendatang (Muhajirin) dan muslim pribumi (Anshar) dan Yahudi kota Yastrib (Madinah) sesungguhnya memiliki misi yang sama, sesungguhnya satu umat. Yang menarik, menurut Kiai Said, Piagam Madinah – dokumen sepanjang 2,5 halaman itu – tidak  menyebutkan kata Islam. Kalimat penutup Piagam Madinah juga menyebutkan: tidak ada permusuhan kecuali terhadap yang dzalim dan melanggar hukum. “Ini berarti, Nabi Muhammad tidak memproklamirkan berdirinya negara Islam dan Arab, akan tetapi Negara Madinah,” terang Kiai Said.

Selain itu, menurutnya, faktor politis juga kerapkali mempengaruhi, bukan akidah atau keyakinan. “Seperti di masa Perang Salib, faktor politis dan ekonomis lebih banyak menyelimuti renggangnya keharmonisan kedua umat bersaudara tersebut di Indonesia. Dengan demikian, kekeruhan hubungan Islam-Kristen tidak jarang dilatarbelakangi nuansa politis yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama itu sendiri,” ungkapnya, dalam buku Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi.

***
Ditengah agenda Ketua Umum PBNU yang sedemikian padat, Kiai Said dewasa ini diterpa berbagai fitnah, hujatan dan bahkan makian dari urusan yang remeh-temeh sampai yang menyangkut urusan negara. Ia dituduh agen Syiah, Liberal, antek Yahudi, pro Kristen, dan fitnah-fitnah lain oleh orang yang sempit dalam melihat agama dan konsep kemanusiaan dan kebangsaan. 

Meski demikian, ia toh manusia biasa – yang tak luput dari salah, dosa dan kekurangan – bukan seorang Nabi. Artinya, kritik dalam sikap memang wajar dialamatkan, tetapi tidak dengan hujatan, fitnah, dan berita palsu, melainkan dengan kata yang santun. Terkait hal ini, dalam suatu kesempatan ia memberi tanggapan kepada para haters-nya. Bukannya marah, Kiai Said justru menganggap para pembenci dan pemfitnah itu yang kasihan. Dan sebagai orang yang tahu seluk beluk dunia tasawuf, tentu dia sudah memaafkan, jauh sebelum mereka meminta maaf atas segenap kesalahan. Wallahu a’lam.

Ahmad Naufa Khoirul Faizun,Kader Muda NU dan Kontributor NU Online asal Purworejo, Jawa Tengah


IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID - Mbah Umar Syahid alias Mbah Umar Tumbu sosok ulama  yang pengabdiannya pada NU dan bangsa Indonesia tanpa batas.  Ketika fisiknya  masih kuat, beliau mengelilingi pulau Jawa untuk menyiarkan Islam ala NU dengan modal jualan tumbu. Ketika tidak lagi mampu berjalan, bukan berarti pengabdiannya selesai. Sebaliknya beliau memberi contoh yang sangat bagus, seolah menyindir kita yang masih sehat.

Beliau rela meninggalkan pesantrennya kemudian mendirikan pendopo NU di atas lahan 1900 meter, di sebuah desa di puncak bukit di Pacitan Selatan. Di sebelah pendopo itu didirikan menara NU setinggi 17meter, yang dari dasar hingga puncaknya tertera logo NU serta tak lupa bendera Merah Putih.

Orang lain akan menganggap ini perbuatan sia-sia,  mengerjakan sesuatu yang tak jelas manfaatnya karena di pedalaman yang jarang dilihat dan didatangi orang. Tapi  beliau sedang membuat mercusuar untuk memberi kabar pada dunia bahwa NU masih ada walaupun sekian lama ditindas orang.

Menara itu juga merupakan mercusuar, agar kapal yang lewat, agama lain dan ideologi lain tidak menabrak bumi NU ini. Kalau kapal sampai menabrak bumi Nusantara bisa pecah dan tenggelam karena yang ditabrak adalah karang. Menara itu dirancang sendiri dan dibangun sendiri. Setelah itu dilakukan pada PCNU Pacitan. Sekali lagi beliau menyindir kita.

Kalau selama ini banyak orang NU mengambil aset NU, sebaliknya beliau menyerahkan aset dan fasilitasnya pada NU.  Di hari tuanya, sang waliyullah itu rela hidup sendiri di tempat sepi sebagai Banser atau satpam penjaga mercusuar NU itu.

Persis seperti KH Muchit, walaupun sudah sangat uzur, kalau diajak bicara NU dan NKRI ia langsung perkasa kembali saking semangat dan cintanya pada NU. Justri saya yang merasa kasihan, tetapi setiap panutan selalu  menahan seolah ada yang ingin disampaikan dan ada banyak hal yang ingin beliau tanyakan kepada kami bagaimana keadaan NU sekarang ini.

Semoga kita tidak hanya bisa mengagumi. Tentu beliau akan bahagia kalau kita bisa meneladani. Maka tercapailah cita-cita beliau itu meninggal sebagai orang NU (wa la tamutunna illa wa antum Nahdliyun). Demikian kesan pertemuan saya dengan beliau sesaat sebelum beliau mengakhiri perjuangannya untuk bertemu dengan Tuhan. (Wasekjend PBNU Abdul Mun'im DZ)


IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID - Empat hari (23-26 Januari 2017) penulis mengikuti perjalanan Anjangsana Islam Nusantara sungguh membahagiakan. Perjalanan dari Jakarta menyusuri pantura hingga Surabaya, Jombang hingga Yogyakarta. Sayangnya, penulis harus berhenti di Surabaya dan kembali ke Jakarta. Rombongan kami 17 orang. 

Tidak hanya mengunjungi yang masih hidup, tapi juga yang sudah meninggal. Makam sejumlah tokoh, mulai dari Baing Yusuf di Purwakarta, Mbah Kuwu Sangkan atau Pangeran Cakrabuana-tokoh penting penyebar Islam di Cirebon, Habib Hasyim bin Umar bin Yahya di Pekalongan, dan seterusnya hingga makan Mbah Bisri Mustofa di Rembang dan Mbah Abdullah Faqih di Langitan, Tuban.

Sesepuh-sesepuh NU juga kami datangi untuk mendapat wejangan waskita. Nama-nama terkenal seperti Abah Thohir (Cirebon), Habib Lutfi bin Yahya (Pekalongan), KH Dimyati Rois (Kaliwungu Kendal), KH Ahmad Mustofa Bisri (Rembang), Mbah Maimoen Zubair (Sarang Rembang) kami datangi satu per satu. Banyak sekali cerita yang ingin kami tulis. Pada saatnya.

Penulis ingin mengawali cerita kecil pada kunjungan ke KH Taufiq, Pengasuh Pesantren At-Taufiqy Rowokembu, Wonopringgo, Pekalongan, Jawa Tengah. Pesantren ini dikunjungi Presiden Jokowi beberapa minggu lalu ketika Presiden menghadiri acara Maulid Akbar bersama Jamaah Kanzus Sholawat yang dipimpin Habib Luthfi bin Yahya.

Penulis tertarik menceritakan Kiai Taufiq karena sosok ini tidak seperti sosok-sosok kiai lain yang sering diberitakan media. Mungkin masyarakat juga tidak banyak yang tahu wajah Kiai Taufiq, karena memang beliau tidak terlalu suka di foto. Bahkan, salah satu pimpinan rombongan kegiatan Anjangsana Mas Zastrouw Ngatawi yang sudah cukup kenal dengan Kiai Taufiq sudah mewanti-wanti agar tidak mengambil gambar Kiai Taufiq. Benar saja, diantara kami tidak ada yang berani mengambil gambar. Konon, beliau juga tidak berkenan foto berdua dengan Presiden Jokowi ketika berkunjung.

Sekitar pukul 10.30 WIB kami memasuki gang tidak terlalu besar menuju kediaman sekaligus pesantren beliau. Langkah kami tertahan. Kebetulan, setiap hari Selasa beliau memberi pengajian khusus untuk perempuan. Esok harinya, Rabu, khusus untuk jamaah laki-laki. Hampir di semua mulut gang penuh jamaah perempuan. Bukan hanya gang yang penulis lalui, tetapi juga semua gang yang menghubungkan jalan raya ke rumah beliau dipenuhi jamaah yang berjajar rapi. Emperan rumah-rumah warga juga hampir semua penuh. Ribuan orang.

Atas kebaikan seseorang yang tampaknya sudah akrab dengan Mas Zastrouw, kami diajak menunggu di teras masjid. Sekitar 15 menit kami duduk, dari pengeras suara yang berjajar di setiap sudut gang, suara lirih Kiai Taufiq mulai terdengar memimpin doa. 

Begitu doa selesai, jamaah yang semua perempuan itu keluar melalui setiap mulut gang. Kami mengamati setiap jamaah yang keluar di samping masjid tempat kami duduk. Ribuan orang keluar mengantri. “Ini jamaah kok gak habis-habis dari tadi,” celetuk sahabat penulis Abdul Moqsith Ghazali yang duduk di sebelah penulis.

Setelah jamaah agak sepi, salah satu putra Kiai Taufiq menghampiri kami di serambi masjid. Sekitar 400 meter kami berjalan menuju komplek pesantren. Penulis mengamati kanan kiri komplek pesantren. Penulis menemukan aura yang agak berbeda. Jika selama ini pesantren dikesankan sebagai tempat yang kumuh dan kotor, pesantren ini sangat bersih.

Kami diarahkan menunggu di sebuah ruangan dalam gedung berlantai 2 yang bersih. Begitu kami masuk ruangan, seorang santri segera menuju ke tempat kami melepas sandal dan sepatu. Dia merapikan sandal dan sepatu yang kami lepas sembarangan. Arahnya pun di balik, sehingga begitu keluar ruangan tamu tinggal memakai. Sambil menunggu Kiai Taufiq, penulis menuju ke toilet. Penulis surprise, ternyata toiletnya sangat bersih. Ada santri yang menjaga dan membersihkan setiap toilet selesai digunakan.

Sekitar 10 menit kami menunggu. Datanglah seorang kiai dengan wajah bersih, teduh dan penuh senyum. Kami pun berdiri menyambut dan mencium tangannya. Suaranya lirih, tidak menggebu-gebu. Sorot matanya sangat sejuk. “Ini memang sorot mata khas guru tarekat, menyejukkan,” kata sahabat Abdul Moqsith. 

Dengan suara yang tidak terlalu keras, beliau banyak cerita tentang guru-gurunya, terutama Kiai Masduqi Lasem. Kiai Masduqi yang pernah berguru di Pesantren Termas termasuk kiai yang sangat mempengaruhi beliau. Cerita soal ini bisa baca: Menelusuri Sanad Keilmuan Islam Nusantara dari KH Taufiq Pekalongan.

Tak terasa, adzan dhuhur mulai berkumandang. Pembicaraan berhenti sebentar. Semula kami menduga, Kiai Taufiq mengajak kami sholat jamaah. Ternyata tidak. Beliau masih mengajak kami mengobrol cerita tentang sanad keilmuannya. Kiai Taufiq juga menceritakan kolom Gus Dur yang ditulis di Majalah Tempo tahun 70-an yang menceritakan tentang Kiai Masduqi dan Syekh Yasin al-Fadany.

Tibalah saatnya, beliau mengajak kami melihat komplek pesantren yang berada di seberang tempat kami diterima. Wow…luar biasa. Pesantren ini seperti taman kota. Kamar-kamar santri di kelilingi pohon-pohon yang rindang. Bangunan pesantren masih ada yang terbuat dari welet. Semua tertata rapi dan bersih. 

Ketika salah seorang teman bertanya: “Kiai, ini yang mendesain siapa kok bisa seperti ini?” “Ya saya sendiri dan para santri”. Bahkan, para santrilah yang membangun ini semua,” kata beliau sambil menunjuk beberapa bangunan.

“Bagaimana kiai mengajarkan semua ini kepada santri, terutama soal kebersihan?” Tanya seorang teman. “Saya tidak pernah mengajarkan dengan kata, tapi dengan perbuatan. Kalau ada sampah, saya ambil sapu. Saya bersihkan. Santri lama-lama mau sendiri dan sapu saya dia rebut,” kata Kiai Taufiq. Dengan cara itu Kiai Taufiq mengajarkan kebersihan kepada sekitar empat ribu santrinya.

Tibalah saatnya makan siang. Kami diajak naik ke lantai 2 gedung tempat kami diterima. Ada hal menarik bagaimana beliau mengajarkan cara makan. “Jangan sampai ada yang tersisa sedikit pun,” kata beliau. Piring Kiai Taufiq bersih seperti habis dicuci. “Tahu ini tugasnya membersihkan semua yang tersisa,” kata beliau sambil memegang seiris tahu dan mengelapkan ke piring beliau. Kami pun akhirnya tengak tengok siapa yang piringnya tidak bersih.

“Kemarin waktu Presiden Jokowi ke sini, menterinya saya ajak makan di sini. Ada menteri yang membersihkan piringnya dengan tisu,” cerita Kiai Taufiq sambil terus membersihkan piringnya dengan tahu. “Beginilah cara kita mensyukuri nikmat Allah. Jangan ada yang dimubadzirkan,” katanya.

Setelah selesai makan, kami segera berpamitan. Atas bisikan Mas Zastrouw, kami ingin sekali bisa foto bersama. Beruntung, beliau kerso difoto meskipun Mas Zastrouw mewanti-wanti sekali lagi agar foto bersama tersebut tidak dipublikasikan untuk menghormati Kiai Taufiq.

Tak lupa minta doa beliau. Dalam perjalanan pulang menuju jalan raya, seorang teman berseloroh: “Mursyid tarekat tapi santai banget. Ada adzan tidak terburu-buru sholat, tapi memilih menghormati tamunya”. 

Itulah cerita kecil saat sowan ke Kiai Taufiq Pekalongan.

Rumadi Ahmad,Ketua Lakpesdam PBNU


IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID - Muslim terbaik ialah orang yang mampu membawa perubahan. Dalam Al-Qur’an, istilah perubahan ini identik dengan kata, al-amru bil ma’ruf wa nahy ‘anil munkar (menyuruh pada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Pada surat Ali Imran ayat 110 misalnya, disebutkan bahwa umat terbaik adalah orang yang mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Setiap Muslim diharuskan untuk melakukan hal ini, membawa perubahan di masyarakat sesuai dengan kemampuannya.

Dalam rangka mengajak kebaikan dan mengubah kebiasaan buruk individu maupun masyarakat, tentu harus punya cara dan metode tertentu agar orang yang diajak terbuka hatinya dan merubah kelakuan buruknya. Ibarat penyakit, penanganan dan pengobatannya harus bagus dan sesuai agar tidak bertambah parah dan segera pulih. Ulama sering menegaskan, jangan sampai mencegah kemungkaran dengan membuat kemungkaran yang baru.

KH Achmad Shiddiq dalam tulisannya berjudul “Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar sebagai langkah Pembinaan Khoiro Ummah dalam Masyarakat Pancasila” menjelaskan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan Amar Ma’ruf-Nahi Munkar (berikutnya disingkat AM-NH). Hal ini beliau tulis agar gerakan AM-NH produktif dan tidak menimbulkan masalah baru.

Pelaksanaan AM-NU terdiri dari empat unsur: muhtasib (pelaksana), muhtasab a’laih (objek/orang yang diajak), muhtasab fih (permasalahan), dan ihtisab (bentuk penanganan). Keempat unsur ini saling berkaitan dan apabila berubah salah satunya, maka pola penangananya pun akan berbeda. Misalnya, apabila kita ingin mengajak seorang anak  untuk berbuat baik dan rajin beribadah, tentu metodenya berbeda dengan orang dewasa. Menerapkan metode orang dewasa terhadap anak kecil akan menimbulkan masalah baru dan kemungkinan besar anak yang diajak tidak akan berubah.

KH Achmad menjelaskan, masing-masing unsur tersebut memiliki beberapa persyaratan dan skala prioritas. Dalam konteks ini, beliau mengutip pendapat Imam al-Ghazali bahwa muhtasib (pelaksana) haruslah ‘alim dan wara’. Orang yang akan melakukan AM-NH mestinya ialah orang yang berpengatahuan luas dan memahami betul persoalan yang sedang dihadapinya. Dia pun harus berhati-hati, bijak mengambil sikap, ikhlas, dan tidak mudah terpancing hawa nafsu. Apabila AM-NU dilakukan oleh organisasi atau kelompok, pimpinan organisasi dan ketua kelompoknya harus memiliki dua persyaratan ini: ‘alim dan wara’, setelah itu baru persyaratan ini dipenuhi oleh masing-masing anggotanya.

Pada saat berhadap dengan banyak masalah (muhtasab fih), seharusnya ada skala prioritas dalam menyelesaikannya. Tidak mungkin seluruh persoalan dapat diselesaikan dalam waktu bersamaan. Menurut KH Achmad, persoalan keimanan mestinya mendapatkan perhatian utama. Sebagaimana diketahui, iman terdiri dari tiga unsur: tasdiq bi qalbi (meyakini dalam hati), al-nutqu bi lisan (melafalkan dua kalimat syahadat), dan amal bi jawarih (melakukan amal shaleh). Peningkatan keimanan seseorang mesti dilakukan dengan cara yang baik dan bijak. Jangan sampai peningkatan kualitas keimanan  dilakukan dengan cara yang salah, tidak profesional dan bijaksana, seperti menggunakan kekerasan, mudah mengkafirkan, dan memusyrikan.

Terkait sasaran ajakan atau orang yang diajak (muhtasab ‘alaih), sejak deklarasi kembali ke Khittab 26, NU lebih fokus pada persoalan keumatan dan kemasyarakatan. NU berusaha agar kualitas iman dan Islam masyarakat Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan kualitas beragama tersebut dilakukan dengan cara yang halus dan tidak menyakitkan.

Dilihat dari sejarah perjuangan Rasulullah, pada tahap awal beliau lebih fokus pada pemantapan iman masing-masing individu, setelah itu baru memikirkan bagaimana membangun masyarakat Islam (islamic society building), dan pada saat tatanan sosial sudah terbangun, baru urusan pemerintah dan politik diatur agar masyarakat tetap sejahtera dan tercapainya misi kerahmatan Islam. Sebab itu, metode dan pendekatan dakwah yang digunakan Nabi pada saat berada di Mekah berbeda dengan Madinah. Wallahu a’lam

                                 Oleh Ketua Umum PBNU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj

IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID - 
Hadirin yang dirahmati Allah, 
Islam menegaskan tentang pentingnya organisasi, jam’iyyah yang mampu menghadirkan kemaslahatan ummat. Menyatukan komitmen untuk menegakkan maslahat, merupakan tujuan dari ibadah sosial yang diserukan Islam.

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ

Tidak ada kebaikan, pada kebanyakan pembicaraan-pembicaraan rahasia mereka, kecuali untuk menyuruh manusia memberi sedekah, atau menghadirkan kebaikan, atau mengupayakan perdamaian antara umat manusia (QS, An-Nisa: 114). 
Islam menyerukan pentingnya menghadirkan kemaslahatan umat sebagai wujud dari peran penting kaum muslim. Kita menyelenggarakan diskusi, rapat, musyawarah maupun berorganisasi, tidak ada baiknya di hadapan Allah, kecuali dengan tiga hal:

Pertama, أَمَرَ بِصَدَقَة. Islam menyerukan komitmen warga muslim untuk bersama-sama mengentaskan kemiskinan. Harakah islamiyyah (gerakan keislaman) perlu difokuskan untuk menghadirkan kesejahteraan. Kemiskinan akan mendorong umat menjadi lemah, dekat dengan kekufuran. Indonesia sebenarnya kaya raya, dikenal sebagai negeri zamrud khatulistiwa, yang di dalamnya terdapat pelbagai kekayaan alam; ragam fauna, tumbuhan, mutiara-mutiara hingga material tambang di perut bumi. Inilah yang harus dikelola sebagai kekayaan bangsa.
يقول الرسول صلى الله عليه وسلم  الناس شركاء في ثلاث الماء والكلأ والنار

“Rasulullah bersabda, ada tiga sumber energi yang menjadi milik bersama, yakni air, api dan hutan.”

Tentu saja, sabda Rasulullah ini harus menjadi inspirasi bagi kita semua untuk menegakkan bangsa yang berdaulat. Kedaulatan politik, ekonomi dan kebudayaan memerlukan komitmen kedaulatan energi. Sumber air yang melimpah, mutlak untuk kesejahteraan rakyat. Kekayaan minyak dan bahan tambang, harus menjadi sumber kedaulatan energi. Hutan-hutan yang luas, wajib dikelola untuk kemaslahatan bangsa ini. Dari kekayaan melimpah di negeri ini, ternyata masih banyak warga yang miskin. Tidak hanya miskin harta, namun juga miskin mental. Untuk itu, perlu ada dorongan sekaligus kebijakan untuk membuka lapangan kerja yang luas, yang memberi kesempatan bagi kader terbaik bangsa ini. Pembenahan mental mutlak dilakukan, agar kita mampu berkarya dan berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain.

Rumusan dasar negara, dalam Pasal 33 UUD 1945 mengingatkan kita tentang betapa pentingnya energi sebagai modal untuk mensejahteraan rakyat. Intinya, bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang dikejar, akan tetapi yang lebih penting adalah pemerataan kesejahteraan. Pada titik ini, kebijakan strategis pemerintah menjadi kuncinya.

Kalau prinsip kepemimpinan dan tujuan kesejahteraan rakyat tidak sejalan-beriringan, maka ancamannya adalah kerusakan di segala bidang, yang menimbulkan murka dari Sang Pencipta Jagad Raya, Allah Subhanahu wata’ala.

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّبَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُون

Kalau sekiranya kebenaran tunduk kepada kehendak hawa ¬nafsu mereka, niscaya rusaklah semua langit dan bumi dan segala apa yang ada di dalam¬nya. Bahkan Kami berikan ke¬pada mereka itu al-Quran untuk kehormatan sebutan mereka, namun mereka tetap berpaling dari kehormatan itu (QS: Al-Mu’minun: 71).

Hadirian sekalian, yang berlimpah Berkah 

Kedua, أَوْ مَعْرُوف. Kebaikan-kebaikan yang menghadirkan harapan. Islam menegaskan tentang pentingnya pengetahuan untuk membangun peradaban. NU berkomitmen untuk terus mengabdi dalam mencerdaskan bangsa dan menyehatkan warga. Dalam hal ini, sudah berlangsung di pelbagai penjuru negeri, pendirian Universitas-Universitas Nahdlatul Ulama, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Rumah Sakit yang menjadi bukti kongkret kiprah NU.

Komitmen untuk menghadirkan kecerdasan, hanya dapat tercapai dengan jalan ketaqwaan. Revolusi mental bangsa hanya dapat digapai dengan moral dan keteladanan. Gerakan mencerdaskan otak, menyegarkan mental, dan menjernihkan hati, akan mendorong lahirnya individu yang shalih, sekaligus juga masyarakat yang shalih. Bangsa yang paling mulia di hadapan Allah, ialah bangsa yang bertaqwa.

وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“…. dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al Hujurat: 13)

Ketaqwaan inilah yang menjadi inspirasi bagi kalbu dan penjernih pikiran. Gerakan intelektual dan strategi kedaulatan, haruslah diiringi dengan kejernihan hati, kecerdasan moral, dan keteguhan mental. Allah menjanjikan derajat yang tinggi, maqaaman mahmuuda, bagi orang-orang dan bangsa yang memiliki keunggulan pengetahuan.
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا مِنْكُمْ وَ الَّذِيْنَ اُوْتُوْا الْعِلْمَ دَرَجَتٍ

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS: Al-Mujaadalah: 11)

Upaya mencerdaskan generasi bangsa, adalah tugas strategis yang menjadi darma bakti warga nahdliyyin. Sejarah panjang hadirnya pesantren di negeri ini, menjadi penanda betapa kiai terdahulu sudah berkiprah dalam membangun pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat. Islam tidak hanya memikirkan aspek teologi maupun ritual semata. Al-islamu dinul tsaqofah wal hadharah wal insaniyyah. Islam adalah agama yang membangun pengetahuan, peradaban dan kemanusiaan. Mencerdaskan bangsa, sekaligus menyehatkan fisik dan mentalnya, tubuh dan jiwanya, merupakan komitmen bersama yang digariskan NU, sebagaimana teladan dari para kiai pendiri organisasi ini.

Tentu saja, pemerintah tidak mungkin menangani semua aspek dalam kehidupan warga negeri ini. NU sebagai jama’ah (komunitas) sekaligus jam’iyyah (organisasi) berkomitmen untuk membantu mencerdaskan warga negeri ini, agar mampu meraih kesejahteraan. Komitmen kami, terbukti dalam bidang pendidikan serta ekonomi kerakyatan.

Ketiga, أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ. Menjadi jembatan islah, rekonsiliasi antar masyarakat. Islam mengajarkan tentang pentingnya maslahah ‘ammah, kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. NU telah membuktikan, dalam sejarah panjangnya, sebagai mediator dalam konflik-konflik kemanusiaan, maupun sengketa kebangsaan. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’arie, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Wahid Hasyim, dan beberapa kiai NU lainnya, selalu menjadi penengah dalam situasi konflik.

Kiai Hasyim Asy’arie menjadi pejuang sekaligus penengah di awal masa kemerdekaan bangsa ini. Beliau dengan ikhlas memberikan  tongkat kepemimpinan negara kepada Soekarno, yang ia beri restu untuk mengawal NKRI. Kiai Wahab Chasbullah menjadi mediator dalam himpitan kolonial, untuk memperjuangkan kepentingan warga negara Indonesia. Kiai Wahid Hasyim, menjadi jembatan aspirasi antar kelompok, dalam masa awal kemerdekaan republik ini. Kiai-kiai lain juga berperan untuk tujuan yang sama, dalam ruang dan peran yang berbeda-beda. Tentu, dalam konteks sekarang, NU hadir sebagai mediator untuk menjaga kesatuan bangsa dan mengukuhkan NKRI, bahkan juga dalam sengketa agama dan kemanusiaan di dunia internasional.

NU tanpa pretensi politik praktis, selalu berperan menjadi perekat bangsa, mengawal utuhnya NKRI. Kiranya, jelas rumusan kebangsaan yang dapat menjadi referensi, sebagaimana termaktub dalam PBNU: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945. Untuk itu, NU sekali lagi menyerukan kepada pemerintah untuk berpegang kepada konstitusi, teguh pada dasar negara.
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة
“Kebijakan seorang pemimpin mestilah merujuk pada kemaslahatan bersama.”
Konsep kepemimpinan ini bermakna substansial, sesuai dengan kaidah fiqh as-siyasah, yang tercermin dalam kitab al-Asybah wa an-Nadhair. Pemimpin mestilah berpegang pada prinsip untuk mensejahterakan rakyatnya, menyebar optimisme dan menghadirkan teladan kebaikan.

Nahdlatul Ulama selalu berkomitmen untuk mengawal negara, agar tidak terpecah belah dalam kepentingan rasial, etnik maupun manuver-manuver politik kelompok tertentu. Dalam sejarah Nahdlatul Ulama menjelang Satu Abad ini, organisasi ini bergerak dalam bidang-bidang strategis yang menghadirkan kemaslahatan untuk umat.


Jakarta, 5 September 2015

IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj beberapa kali mendapat fitnah dan tuduhan tidak benar yang dalam waktu cepat tersebar di media sosial. Tanpa berusaha tabayun, sebagian orang begitu saja mempercayai sehingga termakan hoax atau berita palsu tentang Kiai Said.

Hal itu menjadi keprihatinan tersendiri bagi Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali. Ia berusaha mengungkapkan beberapa karakter yang melekat pada diri kiai asal Cirebon itu yang belum banyak diketahui dan dipahami oleh publik.

“Berkulit agak gelap. Tubuhnya gempal. Bicaranya penuh humor dan kelakar. Matanya seringkali menatap ke bawah dan sesekali memandang ke depan,” ujar Kiai Moqsith mengawali identifikasinya tentang Kiai Said yang ia kemukakan dalam akun facebook miliknya, Selasa (3/12).

Dosen Pascasarjana STAINU Jakarta itu juga mengungkapkan bahwa Kiai Said suka mengutip puisi-puisi Arab klasik. Pandai bernyanyi. Hafal silsilah banyak tokoh, mulai dari silsilah para Nabi hingga silsilah para kiai. “Itulah Kiai Haji Said Aqil Siroj,” ucapnya.

Gus Dur, imbuh Kiai Moqsith, mengakui kealiman Kiai Said. Namun, bidang kealiman Kiai Said beda dengan bidang kealiman umumnya kiai pesantren. Jika kebanyakan kiai pesantren menguasai fiqih, tafsir, dan ushul fiqih, maka Kiai Said mendalami sejarah, filsafat, kalam, dan tasawuf.

“Pengetahuannya terhadap sejarah Islam sangat memukau. Ketika bertutur tentang kehidupan Nabi SAW dan para sahabatnya yang demikian detail, ia seperti hidup sezaman dengan mereka. Padahal kita tahu, Kiai Said sedang berada di abad 21 bukan di abad ketujuh,” tutur santri Mbah As’ad Syamsul Arifin itu.

Menurutnya, Kiai Said juga punya kemampuan menyederhanakan teori-teori filsafat yang rumit. Di tangan Kiai Said, filsafat bukan ilmu yang angker. Ia sanggup memahamkan orang lain perihal tasawuf falsafi Ibnu Arabi yang abstrak itu hanya dalam hitungan menit. 

“Sebuah keunggulan yang jarang dimiliki para akademisi lain,” kata Kiai Moqsith.

Namun, lanjutnya, penguasaan mendalam Kiai Said pada ilmu-ilmu keislaman "non-pesantren" seringkali menimbulkan kesalahpahaman. Karena dia bisa menjelaskan sejarah dan doktrin Muktazilah secara rinci, maka sebagian orang menyangka bahwa Kiai Said adalah Muktazili.

Kiai yang akrab dengan peci Gus Dur-nya ini mengatakan, Kiai Said juga sangat piawai berbicara tentang Syiah. Dia mengerti hitam dan putihnya Syiah, dari A sampai Z. 

Walau begitu, lanjutnya, ia menangkis tuduhan sebagian orang yang mengatakan bahwa dirinya adalah Syiah. "Saya mengerti Syiah, tapi saya bukan Syiah", klarifikasinya di berbagai kesempatan.

“Sayang sekali, belakangan banyak orang lebih percaya fitnah-fitnah tentangnya. Sehingga kita lalai untuk belajar langsung kepadanya,” ucap Kiai Moqsith prihatin.

nu.or.id


IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID - Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mendoakan mereka yang masih lajang pada tahun ini agar mendapatkan jodoh pada 2017.

"Teman-teman semua selamat tahun baru, sukses semuanya. Yang belum ada jodoh mudah-mudahan cepat dapat jodoh," ujar Mensos di Jakarta, Sabtu.

Doa Mensos tersebut disambut ucapan amin yang riuh dari awak media yang tengah meliput kunjungan Mensos menjenguk korban selamat dari peristiwa penyekapan Pulomas di RS Kartika Pulomas.

Mensos juga mendoakan bagi mereka yang belum mendapatkan keturunan agar segera mendapatkan anak.

"Pokoknya bahagia, sukses semua. Terima kasih," ucap Mensos.

Mensos direncanakan akan memberikan ceramah pada kegiatan Dzikir Nasional yang digelar harian Republika di Masjid At Tin, TMII, Jakarta Timur.

Kemudian, Mensos akan menghabiskan malam pergantian tahun di kampung halamannya di Jawa Timur. 

nu.or.id


IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID - Semakin tinggi derajat seseorang, semakin pula ia dihormati. Tapi Rasulullah punya nilai lebih. Sebagai manusia yang maksum dan pembawa risalah suci, sudah sepantasnya Baginda Nabi Muhamad shallallâhu ‘alaihi wasallam mendapat pemuliaan yang tinggi dari sahabat-sahabatnya. Namun nyatanya, justru Rasulullah-lah yang terdepan meneladankan sikap itu kepada mereka. Beliau yang enggan dihormati tampil sebagai sosok sangat menghormati orang lain.

Tentang hal ini ada sebuah kisah yang diriwayatkan Imam ath-Thabrani. Suatu kali Rasulullah menggelar sebuah pertemuan dengan para sahabatnya. Yang hadir cukup ramai, sehingga majelis itu terlihat sesak.

Di tengah padatnya peserta forum, Jarir bin Abdullah datang terlambat. Tentu ia tak mendapat jatah tempat duduk. Rasulullah yang mengetahui kondisi Jarir segera menggelar jubahnya lalu menyuruh Jabir duduk di atasnya.

Hati Jarir terenyuh menyaksikan akhlak luar biasa Rasulullah. Alih-laih mau duduk di atas pakaian Nabi, ia malah mengambil pakaian tersebut, mengangkatnya, lalu menciumnya sambil menangis tersedu-sedu. Batin Jarir, bisa-bisanya Rasulullah begitu menghormati dirinya di depan para sahabat yang lain padahal dia telat?

“Saya tak akan duduk di atas pakaianmu (ya Rasulullah). Semoga Allah memuliakanmu sebagaimana engkau memuliakan diriku,” kata Jarir yang haru campur kagum dengan sifat Rasulullah.

Rasulullah adalah sosok yang tak gandrung dengan penghormatan. Beliau lebih sering melayani ketimbang dilayani. Nabi menjahit pakaiannya sendiri yang bolong. Menyelesaikan keperluannya tanpa merepotkan orang lain. Pribadinya yang tawaduk juga enggan bila tangannya dicium, meski bukan berarti mengharamkannya. Demikianlah Rasulullah, puncak kemuliaannya tampil sempurna justru dalam kerendahatiannya.

nu.or.id

KONTAK KAMI (VIA E-MAIL)

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget