November 2016

IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID -Bupati Kabupaten Semarang, dr. Mundjirin, S.pog memimpin Deklarasi Santri Cinta Damai dalam penutupan Workshop Pesantren For Peace Provinsi Jawa Tengah di Pon-Pes Edi Mancoro Tuntang Kabupaten Semarang, 1-3 November 2016. Acara yang diikuti oleh perwakilan 30 pondok pesantren se-Jawa Tengah tersebut mengambil tema “Membangun Pemahaman Perdamaian Berbasis Pesantren Persepektif HAM”. Acara ini diselenggarakan atas kerjasama CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Konrad Adenauer Stiftung (KAS) Jerman, European Union (EU), dan Pondok Pesantren Edi Mancoro sebagai panitia lokal.


Dalam sambutannya dr. Mundjirin mengatakan bahwa santri merupakan salah satu benteng pertahanan NKRI, serta pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan negara ini. Tetapi pada akhir-akhir ini beberapa orang menuduh pesantren sebagai sarang terorisme dan pembibitan orang-orang radikal. “Saya berharap acara seperti ini dapat memberikan pengalaman bagi para santri, sehingga dapat menunjukkan eksistensi mereka dalam mempromosikan HAM dan Perdamaian”, jelasnya di akhir sambutan.

Di akhir acara, Bupati memimpin pembacaan deklarasi Santri Cinta Damai yang diikuti oleh seluruh hadirin. Adapun bunyi deklarasi tersebut adalah


Bismillahirrahmaanirrahim

Atas Nama Cinta Perdamaian

Dengan Mengucakan Asma Allah yang Rahman dan Rahim, yang memiliki banyak sebutan namun satu ada-Nya.

Kami Santri Indonesia yang lair dalam keluarga Muslim, dibesarkan dan dididik dengan nilai-nilai Islami yang Universal dan meruakan Rahmat bagi seluruh alam; bersama ini kami mendeklarasikan:

Satu; Berpegang teguh pada aqidah dan ajaran Islam yang cinta damai

Dua; Bertanah air satu, tanah air Indonesia; Berideologi satu, Ideologi Pancasila; Berkonstitusi satu, Konstitusi UUD 1945; Berkebudayaan satu, kebudayaan Bhineka Tunggal Ika.

Tiga; Menolak segala macam dan bentuk kekerasan yang dilakukan atas nama agama, dalam hal ini khususnya agama Islam.

Empat; Menolak pemaksaan pemahaman yang dilakukan oleh para penganut kekerasan atas nama Islam dengan cara intimidasi.

Lima; Ikut bereran aktif dalam penanaman nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) di tengah-tengah Pesantren dan Masyarakat.

Enam; Ikut berperan aktif dalam pencegahan dan penanganan konflik di tengah-tengah masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi  rasa toleransi, persaudaraan, serta penghormatan atas hak-hak orang lain.

La Haula Wala Quwaata Illa Billahil ‘Aliyyil ‘Adzim


Hadir dalam acara diatas Direktur CSRC Dr. Irfan Abu Bakar, perwakilan Uni Eropa Saiti Gusrini, Camat Banyubiru, perwakilan Kemenag, NU, Muhamadiyah, dan tamu undangan. Sebelumnya selama tiga hari peserta mendapatkan materi-materi, yaitu “Hak Asasi Manusia dalam Islam” oleh Dr. Sidqan Hamzah (Dosen Undip), “Perdamaian Dalam Islam” oleh Haryo Aji Nugroho, Lc., M.Pd. (Dosen IAIN Salatiga), “Toleransi Dalam Islam” oleh KH. M. Dian Nafi (PWNU Jawa Tengah), dan “Resolusi Konflik” oleh Fahsin M. Fa’al, M.Si.


Kontributor LPP IPNU KABUPATEN SEMARANG

IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID -Dalam masyarakat yang majemuk merupakan hal yang lumrah akan adanya sebuah perbedaan. Oleh karena itu kemajemukan menyebabkan sulitnya dicapai sebuah titik temu. Tanpa adanya keinginan untuk mencapai titik temu, maka menciptakan toleransi adalah hal yang mustahil. Oleh karena itu harmonisasi merupakan kebutuhan bersama dalam masyarakat yang majemuk. Selain itu, upaya-upaya integratif harus selalu diusahakan, bertumpu kepada prakarsa masyarakat dan negara untuk mencapai keseimbangan sosial.


Hal di atas merupakan sebagian materi Toleransi Dalam Islam yang disampaikan oleh KH. M. Dian Nafi, Syuriyah PWNU Jawa Tengah. Materi tersebut disampaikan dalam Workshop Pesantren For Peace Provinsi Jawa Tengah di Pon-Pes Edi Mancoro Tuntang Kabupaten Semarang, 1-3 November 2016. Acara yang diikuti oleh perwakilan 30 pondok pesantren se-Jawa Tengah tersebut mengambil tema “Membangun Pemahaman Perdamaian Berbasis Pesantren Persepektif HAM”. Acara ini diselenggarakan atas kerjasama CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Konrad Adenauer Stiftung (KAS) Jerman, European Union (EU), dan Pondok Pesantren Edi Mancoro sebagai panitia lokal.

KH. Dian Nafi menjelaskan lebih jauh toleransi sebagai tindakan membiarkan orang lain berpendapat berbeda, melakukan hal yang tidak sependapat, tanpa diganggu. Batasan toleransi adlah hukum, negara, dan agama. Para santri harus bisa membedakan antara tolerasi dan toleransi. Toleransi sendiri dipegang oleh masyarakat, sedangkan tolerasi diegang oleh negara. Kadang kala keduanya tidak sepakat. “Pesantren seharusnya bukan hanya membangun pandangan hidup yang baik saja, tetapi juga membangun kualitas hidup yang lebih baik”, tandasnya di akhir sesi untuk menutu acara.


Selain materi di atas, peserta juga mendapatkan materi tentang “Hak Asasi Manusia dalam Islam” oleh Dr. Sidqan Hamzah (Dosen Undip), “Perdamaian Dalam Islam” oleh Haryo Aji Nugroho, Lc., M.Pd. (Dosen IAIN Salatiga), dan “Resolusi Konflik” oleh Fahsin M. Fa’al, M.Si. (PP GP Ansor). Acara ditutup pada hari kamis dengan Deklarasi Santri Cinta Damai yang dipimpin Bupati Kabupaten Semarang, dr. Mundjirin, S.Pog.


Kontributor LPP IPNU KABUPATEN SEMARANG

IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID -Perjalanan saya kali ini adalah tentang menjadi Fasilitator di dalam acara Workshop Pesantren For Peace Provinsi Jawa Tengah di Pondok Pesantren Edi Mancoro Tuntang Kabupaten Semarang, 1-3 November 2016. Untuk kedua kalinya saya menjadi Fasilitator acara PFP tersebut. Sedangkan menjadi fasilitator pertama PfP adalah dalam acara Workshop tingkat Kabupaten Demak di Hotel Amantis yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Kyai Gading Demak sebagai panitia lokal.

Dalam setiap kegiatan selalu ada hal-hal baru yang saya dapatkan. Wabil khusus dalam acara kali ini sangat istimewa karena hadir secara langsung Dr. Irfan Abu Bakar, Direktur CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam sebuah sesi setelah materi “Resolusi Konflik”, beliau menghampiri kami para fasilitator (saya sendiri, Gus Nashif Ubadah, Gus Aris Rofiqi, dan Gus Cholil) yang sedang berdiskusi, dan kebetulan sedang bersama kami juga Gus Fahsin M. Fa’al, selaku pemateri. Beliau mengapresiasi tentang materi yang sudah diberikan oleh Gus Fahsin, dan juga mengapresiasi kinerja para fasilitator. Namun beliau juga memberikan beberapa catatan serta beberapa materi lain. Diantara materi tersebut yang saya anggap agak menarik adalah menjadi Best Peace Builder.

Best Builder adalah duta perdamaian. Menjadi duta perdamaian harus siap menangani konflik. Menjadi duta perdamaian bukan bagi orang yang menjadi salah satu pihak dalam konflik itu sendiri, karena cara penanganan untuk hal-hal seperti itu juga berbeda. Dari pemaparan beliau, setidaknya ada beberapa catatan yang diberikan untuk bisa menjadi best peace builder:


PertamaSebagai seorang duta perdamaian harus bisa menerima pertentangan kepentingan dalam konflik. Perbedaan kepentingan itu sendiri adalah seringkali menjadi sumber utama adanya sebuah konflik. Oleh karena itu harus bisa difahami dan menerima adanya pertentangan kepentingan. Jika tidak menerima maka otomatis kita mengingkari adanya keinginan satu pihak, serta akan membuat kita memihak kepada kelompok lain. Padahal hal ini adalah larangan bagi seorang best peace builder.


Kedua; Menyadari kepentingan adalah hal yang alamiah. Hidup dalam masyarakat yang majemuk, pemikiran serta kepentingan yang berbeda adalah sesuatu yang alamiah, sesuatu yang sudah menjadi sunnatullah. Oleh karena itu perbedaan akan kepentingan tersebut harus dapat kita sadari dan kita terima.


KetigaTidak memihak. Larang bagi best peace builder adalah memihak kepada satu pihak. Keberpihakan akan menyebabkan cara-cara yang akan digunakan sudah tidak seimbang, serta membuat pemikiran kurang menjadi obyektif. Oleh karena itu menjadi best peace builder harus dapat merangkul semua pihak yang berkepentingan.


Keempat; Tidak ada kepentingan yang lebih diutamakan kecuali kepentingan umum dan kepentingan kelompok-kelompok tersebut. Kepentingan umum dan kepentingan kelompok tersebut harus diletakkan sebagai sebuah kepentingan yang sama tingginya. 


Kelima; Equal. Semuanya mempunyai derajat yang sama, tidak ada yang lebih tinggi antara yang satu dengan yang lain. Walaupun menjadi seorang duta perdamaian, maka tidak boleh merasa lebih bermoral, atau bahkan merasa lebih hebat dan lebih tahu dibanding yang lain. Perilaku yang tidak sama akan menyulitkan sendiri bagi duta perdamaian, serta membuat orang lain tidak respect.


Keenam; Tidak banyak yang sadar bahwa seseorang itu harus menjadi duta perdamaian. Tanggung jawab seperti itu lebih banyak diserahkan kepada negara, padahal negara sendiri belum pasti memahami dan menyadari akan tanggung jawabnya. Setiap orang mempunyai tanggung jawab yang sama dalam masyarakat. Oleh karena itu menjadi best builder perlu keputusan yang cepat dan tepat.


Ketujuh; Harus memperhatikan cara-cara untuk mencapai kepentingan, dan harus melihat apakah cara tersebut bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, seperti hukum, HAM, dan nilai-nilai kemanusiaan. Jangan kemudian seseorang itu beramar ma’ruf, tetapi juga melakukan kemunkaran. Agar apa yang dilakukan tersebut tidak melanggar norma atau peraturan yang ada, maka semenjak awal perlu dibutuhkan analisa yang cermat serta roadmap yang jelas serta tepat guna.


Kedelapan; Tindakan praktisnya adalah selalu memikirkan cara penanganan konflik. Cara dan tahapan penangan konflik harus difahami dan dikuasai oleh best peace builder. Tanpa memahami dan menguasai, maka hasil yang diharapkan tidak akan bisa tercapai.


Demikian adalah catatan yang saya dapatkan dan saya tuliskan. Semoga dapat bermanfaat, serta kita selalu tergugah untuk menyebarkan perdamaian di muka bumi ini. Salam Perdamaian !!!  





Kontributor LPP IPNU KABUPATEN SEMARANG

KONTAK KAMI (VIA E-MAIL)

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget