Oktober 2016

IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID - Sebelum adanya 'lasykar-lasykar' seperti lasykar jihad, lasykar cinta, lasykar pelangi, dan lasykar-lasykar yang lain; bahkan sebelum terbentuknya TNI, di negeri kita sudah dikenal banyak lasykar yang jelas berjuang dengan ikhlas untuk tanah air. Sebut saja misalnya, Lasykar Hizbullah pimpinan Kiai Zainal Arifin; Sabilillah di bawah pimpinan K.H. Masykur; Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo; Barisan Banteng pimpinan dr. Muwardi; Lasykar Rakyat; dan masih banyak lagi yang lain.

Demikian tulis KH Ahmad Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus dalam akun Facebook resmi pribadinya, "Ahmad Mustofa Bisri", Kamis (22/10).


Gus Mus menerangkan, lasykar-lasykar dan barisan-barisan itu, termasuk juga TKR (Tentara Kemanan Rakyat, red), di zaman revolusi, berbondong-bondong sowan kepada Kiai Subkhi Parakan Temanggung yang dijuluki Kiai Bambu Runcing dan Jenderal Bambu Runcing. Setiap hari ribuan orang dari berbagai 'kesatuan'/lasykar minta doa dan berkah beliau sbelum berangkat ke medan perjuangan.

“Di antara yang sowan, tercatat: KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur, KH. Zainul Arifin, KH. Saifuddin Zuhri, dan Panglima Besar Jenderal Soedirman sebelum bergerak ke Ambarawa,” jelas Pengasuh Pesantren Raudlatut Tholibin Rembang, Jawa Tengah ini.

Kiai Subkhi sendiri, lanjutnya, selaku Rais Syuriyah Cabang NU Temanggung, pada tanggal 25 Oktober 1945, setelah mendapat instruksi dari PBNU untuk jihad fi sabilillah, berjuang mengusir penjajah Belanda, bersama Pengurus NU Cabang dan Barisan Muslimin Parakan-Temanggung, mengadakan mujahadah selama 10 hari. Setelah itu diadakan latihan kemiliteran oleh Lasykar Hizbullah.

Dalam revolusi fisik yang berkecamuk antara 1945-1950, tambah Pj Rais Aam PBNU 2014-2015 ini, Kiai Subkhi bersama KHM. Siradj Payaman, KHM. Dalhar Watucongol, dan KH. Mandur Temanggung, serta tentara rakyat, berhasil mengusir NICA dan Sekutu dari Magelang; kemudian setelah bergabung dengan pasukan Jendral Soedirman, mengusir mereka pula dari Ambarawa.

“Rahmat Allah untuk Kiai Subkhi, Jendral Soedirman, para kiai dan santri pejuang kemerdekaan yang telah mendahului kita. Al-Fãtihah. Selamat Hari Santri,” tutup Gus Mus.

Saat berita ini ditulis, keterangan sejarah Gus Mus di beranda Facebooknya ini telah di-sukai oleh 2419 orang, 128 komentar, dan 648 kali dibagikan.

nu.or.id



IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID - Masih ada sebagian kecil masyarakat yang belum meyakini bolehnya melaksanakan peringatan tahunan (haul) bagi orang yang sudah wafat. KH MA Sahal Mahfudh yang sudah wafat 1.000 hari yang lalu telah memberikan uraian mengenai tata cara dan hukum melaksanakan haul.

Mbah Sahal menjawab pertanyaan Lutfi Wonosobo dalam bukunya "Dialog Problematika Umat" yang bertanya soal bagaimana hukumnya memperingati meningggalnya seseorang atau haul.

Peringatan haul memang sudah lazim dilakukan baik oleh organisasi atau perorangan. Ada yang dengan sederhana dengan mengundang saudara dan tetangga dengan membaca tahlil atau khatmil Qur'an.


Ada pula haul yang dilaksanakan dengan gebyar pengajian umum dengan forum terbuka dengan mengundang dai atau ulama. Intinya adalah bagaimana ada dakwah dan syi'ar agama yang terbuka untuk masyarakat umum.

Mbah Sahal menegaskan bahwa upacara haul dibenarkan dan tidak dilarang. Sebab kegiatan semacam ini sangat besar menghasilkan manfaat bagi umat.

Status hukum haul, kata Mbah Sahal, tidak bisa lepas dari bentuk kegiatan dan rangkaian acaranya. Berarti, menghukumi haul sama dengan menghukumi perbuatan yang terdapat dalam perhelatan itu.

Kata haul (حول) secara etimologis dalam istilah literatur fiqih terdapat dalam bab zakat. Haul bermakna sebagai syarat wajibnya zakat hewan ternak, emas, perak, serta harta dagangan. Jadi, haul berarti kekayaan harus dizakati bila berumur satu tahun.

Di sini bagi Mbah Sahal menyebutkan ada kesesuaian makna lughawi haul dengan acara haul. Sebab dalam kenyataannya acara haul dilakukan satu tahun sekali pada hari wafatnya orang yang diperingati haulnya.

Apa rangkaian acara haul yang tepat menurut Mbah Sahal? Ada tiga muatan peringatan haul yang selalu dilaksanakan oleh umat Islam Nusantara:

Pertama, tahlilan dirangkai doa kepada si mayyit. Kedua, pengajian umum yang terkadang dibacakan  sejarah singkat orang yang dihauli, mencakup: nasab, tanggal lahir/wafat, jasa-jasa serta keistimewaan yang patut diteladani. Dan ketiga, sedekah kepada orang yang hadir atau diantar langsung ke rumah-rumah.

Dalam menjelaskan bab tahlil/baca al-Qur'an dan doa untuk mayyit, Mbah Sahal merujuk Kitab Hujjah Ahl Sunnah wal Jama'ah karya KH Ali Ma'shum Al Jogjawi yang berpendapat bahwa pahala ibadah atau amal sholeh yang dilakukan orang masih hidup bisa sampai kepada si mayyit.

Dzikir dan doa semacam ini memiliki dua makna strategis. Pertama, minta kepada Allah dan memohon ampunan, ini yang diperbolehkan. Dan kedua, berdoa kepada si mayyit dan ini yang dilarang karena bisa masuk syirik (Surat Yunus ayat 106). Mbah Sahal juga menegaskan bahwa berdoa kepada si mayyit berbeda dengan tawassul (Surat Al Maidah ayat 35).

Sedangkan pengajian adalah salah satu dakwah billisan (ucapan) yang dapat memberikan wawasan, bimbingan dan penyuluhan untuk umat. Pengajian semacam ini akan turut serta perperan menyatukan umat dan meningkatkan kualitas ketaqwaan.

Adapun sedekah yang pahalanya diberikan atau dihadiahkan kepada mayyit oleh Mbah Sahal diperbolehkan. Sebab hal ini termasuk amal sholeh seperti disinggung dalam penjelasan sebelumnya.

Sangat indah sekali, walau Mbah Sahal sudah seribu hari yang lalu meninggalkan kita semua, beliau masih bisa memberikan tuntunan untuk semua umat Islam. Alfatihah.....

Oleh M Rikza Chamami, Sekretaris Lakpesdam NU Kota Semarang & Dosen UIN Walisongo

KONTAK KAMI (VIA E-MAIL)

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget