April 2016

Jakarta, NU Online
Peringatan haul ke-6 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di kediamannya di Jalan Warung Sila 10, Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan berlangsung meriah, Sabtu (26/12). Malam itu sejumlah tokoh memberikan testimoni di atas panggung, mengungkap ingatan mereka tentang sosok presiden ke-4 RI ini.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang hadir dalam kesempatan itu mengatakan, Gus Dur semasa hidup telah menorehkan banyak prestasi yang masih bisa dirasakan masyarakat hingga kini. Menurutnya, setidaknya ada tiga jasa yang paling menonjol di antara sekian banyak manfaat dari kiprah Gus Dur.
Pertama, Gus Dur termasuk orang yang berhasil mengangkat citra positif pesantren tak hanya sebagai institusi pendidikan melainkan pula sebagai komunitas yang memiliki nilai-nilai dan kultur khas yang membedakannya dari komunitas di luarnya. Hal itu, imbuh Lukman, Gus Dur lakukan di antaranya lewat tulisan pada tahun 70-an saat tak banyak orang tahu tentang pesantren.

Sekarang, kata Menag, ketika santri sudah begitu dikenal bahkan Hari Santri telah dideklarasikan oleh pemerintah, menjadi kewajiban khususnya bagi kalangan santri untuk semakin bertanggung jawab dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Kedua, Beliau (Gus Dur) tentu bersama ulama-ulama yang lain terdepan dalam menyelesaikan hubungan Islam dan Pancasila," lanjutnya di hadapan ribuan jamaah yang memadati kompleks Yayasan Wahid Hasyim, lokasi rumah Gus Dur berada.

Bagi Lukman, Gus Dur sukses meyakinkan umat Islam secara luas bahwa Islam lah yang menjadi roh Pancasila sehingga reaksi keduanya tidak mesti dipertentangkan. Alhasil, Pancasila bisa diterima dengan tidak meminggirkan Islam dan tanpa menumpahkan darah setetes pun.

Jasa penting Gus Dur yang ketiga, menurut Lukman, adalah perjuangan Ketua PBNU tiga periode itu dalam menciptakan keharmonisan bangsa Indonesia yang sangat plural. Bagi Gus Dur, kemajemukan merupakan realitas yang harus diterima dengan lapang dada.

"Gus Dur di banyak kesempatan mengatakan bahwa perbedaan bukanlah kelemahan tapi justru anugerah dari Allah agar kita yang berbeda-beda ini bisa saling menghormati satu sama lain," terangnya.

Lukman menilai, Gus Dur dengan pandangan keislamannya yang sangat inklusif telah berhasil membumikan wawasan Islam rahmatan lil alamin yang menjunjung tinggi toleransi (tasamuh), moderasi (tawassuth), dan keseimbangan (tawazun).

Dalam peringatan haul Gus Dur kali ini tampak hadir pula Rais Aam PBNU KH Ma'ruf Amin, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahya Purnama (Ahok), serta beberapa tokoh dan kiai lainnya. (Mahbib/Alhafiz K)

Ketika Pancasila telah diakui sebagai dasar negara maka setiap sistem yang di bangun di atasnya haruslah bersendikan pada dasar yang telah disepakati bersama, baik dalam politik budaya termasuk dalam demokrasi. Sejak kembali ke UUD 1945, Indonesia telah menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin. Istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Ki Hajardewantara, kemudian diterjemahkan dalam realitas oleh Bung Karno, sebagai bentuk demokrasi Indonesia. Demokrasi ini sendiri mengacu pada pasal empat Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Artinya demokrasi yang mengacu pada nilai dan cita-cita bersama bangsa ini.

Sejak awal NU yang diwakili KH Saifuddin Zuhri dan KH A Syaichu menegaskan bahwa NU menerima sistem Demokrasi Terpimpin asal penekanan tetap diletakkan pada demokrasinya, bukan pada terpimpinnya. Karena tanpa adanya kepemimpinan demokrasi menjadi anarki, demikian juga tanpa demokrasi maka kepemimpinan menjadi represi. NU menginginkan adanya demokrasi yang terarah bukan demokrasi liberal yang tanpa arah, yang ada hanya suara bersama, yang mengabaikan prinsip dan moral. Hadirnya Demokrasi Terpimpin penting untuk mengatasi anarki politik yang ditimbulkan oleh demokrasi liberal zaman itu.

Ternyata pelaksanaan Demokrsi Terpimpin banyak mengalami penyimpangan, penekanan tidak pada demokrasinya, tetapi pada pemimpinannya. Karena itu NU pada Muktamar Ke-24 NU di Bandung mengadakan tinjauan ulang terhadap Demokrasi Terpimpin itu. Bukan pada substansinya tetapi pada istilah serta bentuk penerapannya. NU berusaha mengembalikan demokrasi pada sumber dasarnya yaitu Pancasila.

Dengan asumsi semacam itu NU mengusulkan penggunaan istilah baru Demokrasi Pancasila, yaitu demokrasi atau kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan dan permusyawaratan serta perwakilan. Pada dasarnya Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan. Dengan demikian, kebebasan berdemokrasi dibatasi oleh pertama, batas keselamatan negara; kedua, kepentingan rakyat banyak; ketiga, kepribadian bangsa; keempat, batas kesusilaan; dan kelima, batas pertanggung-jawaban pada Tuhan. Setiap keputusan yang melanggar kelima batas itu dinyatakan batal secara moral dan politik. Demikian pandangan dan sikap NU terhadap politik dan demokrasi. Berikut adalah maklumat lengkap dari deklarasi pada muktamar tahun 1967 itu:

Deklarasi Demokrasi Pancasila

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan penuh pertanggungan jawab kepada Allah subhanahu wata’ala, kepada perjuangan memenangkan Orde Baru untuk kebahagiaan jasmaniah dan rohaniah seluruh bangsa Indonesia, Muktamar NU ke-24 di Bandung mengeluarkan Deklarasi Tentang Demokrasi Pancasila.

Mukaddimah

Penentangan terhadap ajaran Demokrasi Liberal pada hakikatnya penentangan terhadap suatu politik yang membuka kemungkinan timbulnya peranan perorangan dan kelompok kecil di dalam masyarakat yang dapat mencapai kekuasaan politik dengan mengabaikan kepentingan rakyat banyak.

Penentangan terhadap ajaran Marxisme-Leninisme pada hakikatnya penentangan terhadap sistem politik yang membenarkan pencapaian kekuasaan melalui kekerasan dan dominasi berdasarkan kekuatan dari satu golongan terhadap golongan yang lain.

Penentangan terhadap ajaran Demokrasi Terpimpin pada hakikatnya penentangan terhadap sistem politik yang menjurus kepada kekuatan perorangan dan segolongan kecil dengan menggunakan predikat “terpimpin” sebagai cara untuk melenyapkan demokrasi setahap demi setahap sehingga sempurna.

Pembinaan Orde Baru dengan demikian pada hakikatnya adalah pembinaan demokrasi yang tidak menganut sistem Demokrasi Liberal, ajaran Maerxisme-Leninisme maupun Demokrasi Terpimpin. Demokrasi ini berdasarkan Pancasila atau “Demokrasi Pancasila”.

Sifat Umum Demokrasi Pancasila

Demokrasi Panacasila adalah demokrasi yang berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila.

Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang menegaskan bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, melalui lembaga-lembaga perwakilan yang anggota-anggotanya dipilih di dalam suatu pemilihan umum yang bebas dan demokratis.

Demokrasi Pancasila menolak semua bentuk kekuasaan dan kekuatan yang dipeproleh dari lembaga perwakilan rakyat.

Mengakui hak mayoritas seimbang dengan kewajiban yang dipikulnya.

Di bidang agama, Demokrasi Pancasila mengakui hak dan kewajiban pemeluk mayoritas begitu juga hak dan kewajiban pemeluk minoritas sesuatu agama.

Demokrasi Pancasila

Lembaga Perwakilan Rakyat dibentuk melalui pemilihan umum yang bebas dan demokratik, dari representasi partai-partai politik dan lain-lain organisasi massa yang terorganisir, yang mencalonkan wakil-wakilnya di dalam pemilihan umum.
Berdasarkan kondisi-kondisi objektif, sistem proporsional adalah sistem yang terbaik di dalam pemilihan umum.

Tentang Peranan Rakyat di Dalam Demokrasi Pancasila

Massa Rakyat yang terorganisir di dalam partai-partai politik dan lain-lain organisasi massa adalah alat yang mutlak di dalam melaksanakan Demokrasi Pancasila yang sesungguhnya.

Partai politik dan lain-lain organisasi massa mempunyai hak dan kewajiban untuk memperjuangkan politik ideologi masing-masing serta berjuang untuk kesejahteraan seluruh rakyat di atas landasan Pancasila.
Bandung 10 Juli 1967

Sumber: Abdul Mun’im DZ (Editor), Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011 (Jakarta: Setjen PBNU-NU Online)

Sebagaimana tradisi suku Quraisy dan kabilah Arab pada umumnya, pada hari kedelapan selepas dilahirkan oleh Siti Aminah, Muhammad kecil harus diungsikan ke pedalaman dan baru akan dikembalikan ke ibunya ketika kelak berusia delapan atau sepuluh tahun. Tentu hal ini membuat Siti Aminah gundah. Tapi, tradisi tetaplah tradisi, mau nggak mau harus tetap dilaksanakan. 

Aminah pun sadar, ini penting untuk ia lakukan. Ia pun mengikhlaskan putranya untuk dikirim ke pedalaman. Lagipula ia tahu bahwa tujuan dikirimkannya supaya kemampuan berbahasa sang anak bagus—di pedalaman bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab asli, belum campuran dan bukan bahasa pasar (fush-ha)—dan bisa mencecap udara pedalaman yang bersih, tidak seperti di kota yang dianggap telah tercemar.

Di pedalaman itu, Muhammad kecil diasuh oleh Halimah bint Abi Dzuaib (Halimatus Sa’diyah) selama tiga tahun. Muhammad pun tumbuh menjadi anak yang cepat tanggap, telaten dan jujur. Ia juga kerap membantu temannya yang kesusahan dan selalu bersikap bersahaja walaupun ia terkenal memiliki kecerdasan yang luar biasa dibandingkan anak seumurannya, apalagi ia adalah keturunan salah satu suku terpandang di kabilah Arab. Hal itu membuatnya disukai banyak orang. Tak terkecuali teman sebayanya.

Suatu ketika, saat ia bermain bersama anak-anak lain, ia didatangi oleh dua orang berbaju putih. Ia pun sempat bertanya, tapi tidak dijawab. Dua orang itu berkata dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Muhammad  kecil.

Sontak, hal ini pun membuatnya ketakutan. Tak terkecuali teman-temannya. Mereka pun berlari mendatangi  rumah Halimatus Sa’diyah dan melaporkan peristiwa yang terjadi.

“Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki,” ujar salah seorang dari mereka, agak berteriak.

Halimah pun agak terkaget. Tapi, ia berusaha tetap tenang.
“Apa benar yang kau katakan?”
“Benar. Dan ia telah dibaringkan di sebuah batu, perutnya dibedah sambil dibolak-balikkan.”
Seketika itu pula wajah Halimah pucat. Ia pun berlari menuju tempat yang diceritakan itu. Tak butuh waktu lama, ia pun sampai di tempat yang diceritakan itu.
Di sana, ia melihat Muhammad yang terdiam, Halimah pun berusaha menenangkannya.
“Apa yang telah terjadi, Anakku.”
Muhammad melihat wajah Halimah. Kemudian merangkulnya. Lalu, dengan agak terbata-bata ia menjawab, ”Dua orang itu berbaju putih. Ia berusaha mengambil sesuatu dari tubuhku.”
“Apakah itu?”
“Aku tidak tahu, Ibu.”

Halimah pun merangkulnya sekali lagi. Ia pun sebenarnya ketakutan dan takut jika anak ini sedang kesurupan atau ada keanehan lain yang tidak mengerti. Untuk itu, ia bersepakat dengan keluarganya untuk mengembalikan Muhammad kecil ke Makkah.

Kelak, selepas Muhammad kecil tumbuh dewasa dan diangkat menjadi Rasul, baru ia mengerti bahwa dua orang berbaju putih itu adalah malaikat yang diutus oleh Allah subhanahu wata'ala untuk mencari dan mengangkat keburukan dalam dirinya.

*Diceritakan ulang dari biografi Sejarah Hidup Muhammad karya Mohammad Husain Haekal oleh Dedik Priyanto, alumni Pesantren Attanwir, Talun, Sumberrejo, Bojonegoro.
Dari : www.nu.or.id

Rasulullah SAW tidak hanya menyeru umatnya untuk mengerjakan ibadah wajib semata. Beliau juga mengimbau pengikutnya supaya melakukan ibadah sunah. Banyak  hadits menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling tekun dan rajin mengerjakan ibadah sunah. Bahkan saking seringnya, Beliau khawatir bila umatnya mengira ibadah yang dilakukannya itu sebagai sebuah kewajiban.

Kekhawatiran Nabi Muhammad SAW ini merupakan bentuk kearifan dan kebijaksanaannya. Tampaknya, Beliau paham betul dengan kondisi umatnya dan tidak mau terlalu membebani mereka. Dalam sebuah kasus, Nabi Muhammad SAW juga pernah menegur seorang sahabat lantaran beribadah secara berlebih-lebihan yang pada akhirnya menyiksa dirinya sendiri. Semisal teguran Nabi kepada sahabat yang berpuasa sepanjang hari.

Di antara amaliah sunah  yang dianjurkan Nabi SAW adalah shalat witir sebelum tidur, puasa tiga hari di setiap bulan, dan shalat dhuha. Keterangan ini diambil dari hadis riwayat Abu Hurairah yang juga dikutip oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Fadhail Awqat:



عن أبي هريرة قال: أوصاني خليلي صلى الله عليه وسلم بثلاث: الوتر قبل النوم وصيام ثلاثة أيام من كل شهر وصلاة الضحى

“Abu Hurairah berkata, ‘Kekasihku Nabi Muhammad SAW mewasiatkan tiga hal: witir sebelum tidur, puasa tiga hari di setiap bulan, dan shalat dhuha.’”

Ketiga ibadah ini merupakan wasiat langsung dari Nabi SAW kepada Abu Hurairah. Tentunya ibadah ini tidak dikhususkan untuk Abu Hurairah, tetapi siapa pun bisa mengerjakannya.

Sesungguhnya tiga ibadah yang diwasiatkan Nabi SAW ini terbilang ringan dan mudah dikerjakan. Hanya saja butuh sedikit konsistensi dan semangat agar lebih terbiasa. Semoga kita mampu menjadikan ibadah tersebut sebagai rutinitas harian dan bulanan. Wallahu a’lam. (Hengki Ferdiansyah)

Dari : www.nu.or.id

Rasulullah adalah contoh ideal bagi seluruh akhlak manusia di muka bumi. Akhlak tersebut tak sebatas mencakup hubungan manusia dengan Allah tapi juga relasi manusia dengan sesamanya secara sosial. Teladan tersebut sudah termaktub jelas dalam sejarah, Hadits, bahkan kitab suci Al-Qur’an.

Khotbah I
الحمد لله الذى جعل التقوى خير الزاد واللباس وأمرنا أن تزود بها اليوم البعاث أشهد أن لااله إلا الله وحده لاشريك له رب الناس وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الموصوف بأكمل صفات الأشخاص. اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين وسلم تسليما كثيرا، أما بعد.
Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,



Dalam kesempatan bulan Rabiul Awal ini, khatib mengajak pada diri sendiri dan kepada jamaah sekalian untuk senantiasa belajar meneladani perilaku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, makhluk paling agung pengemban risalah suci untuk memperbaiki akhlak manusia. Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.”

Salah satu poin penting yang bisa kita contoh dari beliau adalah akhlak dalam konteks hubungan sosial. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk pribadi dengan keluasan hati yang mengagumkan. Beliau tak hanya orang yang gigih dalam memperjuangan syiar kebenaran Islam tapi juga menunjukkan perangai mulia dalam berdakwah sebagai menifestasi dari klaim kebenaran itu sendiri.

Ketika kita membaca kembali lembar tarikh (sejarah) peradaban Islam, kita akan menemukan fakta bagaimana Nabi bersikap kepada pasukan musuh begitu momen kemenangan besar Fathul Makkah (pembebasan kota Makkah) diraih. Kejadian itu bermula saat kaum musyrikin Quraisy di Makkah merusak kesepakatan gencatan senjata yang dikenal dengan “Perjanjian Hudaibiyah”, hingga mengundang sepuluh ribu pasukan Muslim dari Madinah untuk menyerbu Makkah.

Seluruh kaum musyrikin dilanda ketakutan, terutama pemimpin tertingi mereka, yakni Abu Sufyan. Dengan kekuatan pasukan Muslim yang berkembang demikian pesat, ia sadar betul kekalahan bagi kelompoknya sudah di depan mata. Reputasi dirinya sebagai pemimpin yang sangat disegani pada hari itu runtuh, wibawanya sebagai jawara tanpa tanding pun remuk. Lalu apa yang diperbuat oleh Rasulullah?

Jamaah Jum’at yang semoga dimuliakan Allah,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah tipe pendendam dan pemarah. Sejarah perlakuan buruk kaum musyrikin Quraisy, termasuk Abu Sufyan, terhadap dirinya dan umat Islam tak membuatnya bertindak secara membabi buta. Di hadapan khalayak waktu itu, Nabi justru berpidato “Barangsiapa masuk ke dalam Masjidil Haram, dia akan dilindungi. Barangsiapa masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, dia akan dilindungi.”

Ungkapan ini membuat banyak orang terperanjat. Nabi seakan paham dengan suasana batin Abu Sufyan, dedengkot pasukan musuh itu. Mendengar pengumuman itu, hati Abu Sufyan yang garang luluh bercampur bahagia. Meski dalam posisi terpojok, ia merasa sangat terhormat dan terlindungi. Tak tanggung-tanggung, Rasulullah seolah menyejajarkan rumahnya dengan Masjidil Haram. Barangkali karena kemuliaan akhlak Nabi inilah Abu Sufyan tak lagi canggung memeluk Islam.

Dari sini kita belajar, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tak hanya pandai bertutur tentang pentingnya berbuat bijak kepada sesama, tetapi beliau konsisten dengan memberikan teladan langsung dalam wujud perilaku. Penghormatan Nabi di sini tak sebatas kepada orang atau kelompok yang berbeda pandangan dengan dirinya, tapi bahkan kepada orang atau kelompok yang sedang memusuhinya. Maka benarlah ungkapan sebuah hadits shahih :

أَحَبُّ الدِّينِ إلى الله الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ
 “Agama yang paling dicintai oleh Allah adalah al-hanafiyah as-samhah (yang lurus lagi toleran).”

Rasulullah juga memberi isyarat bahwa tak ada hubungan keimanan seseorang dengan perasaan benci. Sehingga, kita pun menjadi heran saat menyaksikan banyak orang-orang yang merasa iman meningkat tapi kebenciannya terhadap orang yang tak seiman dengan dirinya pun ikut meningkat. Sikap semacam ini kontradiktif dengan dengan sabda Nabi sebagaimana tertulis dalam kitab Riyadlus Shalhin :
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Mukmin yang paling sempurna adalah mereka yang paling indah akhlaknya”

Dalam Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim pernah dikisahkan, suat kali Rasulullah berdiri (memberi hormat) ketika sebuah iring-iringan jenazah yang lewat di hadapannya. Salah seorang sahabat beliau mengingatkan bahwa jenazah itu adalah jenazah orang Yahudi, yang tak layak mendapat penghormatan. Beliau lansung menjawab, “Bukankah ia juga manusia ?”

مَرَّتْ بِهِ جَنَازَةٌ فَقَامَ فَقِيْلَ لَهُ إِنَّهَا جَنَازَةُ يَهُوْدِي فَقَالَ أَلَيْسَتْ نَفْسًا؟
Jamaah Jum’at yang semoga dirahmati Allah,
Perilaku Rasulullah tersebut menyiratkan pesan bahwa keteguhan iman seseorang ditandai bukan dengan sikap angkuhnya terhadap orang yang berbeda. Justru sebaliknya, kuatnya keyakinan itu justru memantulkan sikap-sikap tawadlu’, rasa hormat, tasamuh (toleran) dan terbuka terhadap yang lain.

Khotbah II
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ

Adzan termasuk ibadah mulia yang paling besar manfaatnya bagi orang banyak. Bagaimana tidak? Muadzin berjasa mengingatkan orang lupa, membangunkan orang tidur, dan memberi tahu orang yang sedang beraktivitas dan santai kalau waktu shalat sudah tiba.

Saking besarnya manfaat adzan ini, Allah SWT memberi ganjaran berupa ampunan dosa  bagi orang yang mengumandangkannya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah SAW dalam hadis yang bersumber dari Abu Hurairah.


المؤذن يغفر له مدى صوته ويستغفر له كل رطب ويابس وشاهد الصلاة يكتب له خمس وعشرون حسنة ويكفر عنه ما بينهما
“Seorang muadzin akan diampuni sejauh suara adzan yang ia kumandangkan. Setiap (benda) yang basah dan kering akan memintakan ampun untuknya. Sedangkan orang yang  menghadiri shalat jama’ah akan dituliskan dua puluh lima kebaikan baginya dan dosa antara dua shalat akan diampuni karenanya.” HR. Ibnu Majah.

Tidak hanya itu, dalam hadis lain disebutkan bahwa muadzin memiliki posisi yang begitu istimewa di akhirat kelak. Posisi istimewa ini diperoleh melalui hasil usaha kerja kerasnya selama di dunia. Mu’awiyah bin Abi Sufyan pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,

المؤذنون أطول الناس أعناقا يوم القيامة

“Muadzin adalah orang yang paling panjang lehernya di akhirat kelak,” HR. Ibnu Majah.

An-Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan, para ulama baik salah maupun khalaf berbeda pendapat mengenai maksud kata “athwalunnas a’naqan” dalam hadis di atas.  Ada ulama yang menafsirkan maksud hadits tersebut adalah di akhirat kelak semua orang akan melihat banyaknya pahala yang diperoleh seorang muadzin.

Ada pula yang memahami “panjang leher” itu berati muadzin diposisikan sebagai pemimpin di hari akhirat nanti, sebab orang Arab biasanya menggunakan kata “panjang leher” sebagai tamsil pemimpin. Sementara Ibnul ‘Arabi berpendapat, maknanya ialah orang yang paling banyak amalannya.

Perbedaan ulama ini tidak saling berlawanan dan masih bisa dicari titik-temunya. Pada intinya mereka sepakat bahwa adzan merupakan ibadah yang mulia sehingga ibadah ini akan mengantarkan orang yang mengumandangkannya pada posisi yang terbaik di akhirat kelak. Maka dari itu, jangan malu bila diminta untuk mengumandangkan adzan. Wallahu a’lam. (Hengki Ferdianysah)


Dari : www.nu.or.id

KONTAK KAMI (VIA E-MAIL)

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget