2016


IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID - UNGARAN – Sekitar 150 siswa dan siswi perwakilan sekolah Ma’arif se-Kabupaten Semarang serta pondok pesantren, mengikuti seminar kewirausahaan yang dilanjutkan dengan pelatihan aneka wirausaha, seperti pelatihan sablon kaus, pembuatan stiker, pembuatan pin dan pelatihan sablon mug, Sabtu (3/12), di Ponpes Al Falah Pabelan, Kabupaten Semarang.

Pelatihan tersebut bersamaan dengan pelantikan pengurus Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Pelajar Nahdlotul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Kabupaten Semarang periode 2016-2018. Pelantikan dihadiri Pimpinan Wilayah IPNU Jawa Tengah, Amir Mustofa Zuhdi sekaligus mewakili Pimpinan Pusat IPNU.


Amir Mustofa berkesempatan melantik M Fahmi Latif selaku Ketua IPNU dan 36 kader IPNU, serta Ketua IPPNU Winda Nur Syifa dan 26 kader IPPNU. ”Pelatihan dibimbing oleh kader-kader IPNU/IPPNU yang telah berhasil menggeluti bidangbidang kewirausahaan tersebut,” kata M Fahmi Latif didampingi Nur Kholis yang berada di lembaga pers IPNU.

Prosesi pelantikan disaksikan oleh Camat Pabelan beserta Kapolsek, Fatayat dan Muslimat NU Kecamatan Pabelan, para ulama serta siswa Ma’arif. ”Para kiai dan ulama di Kabupaten Semarang mengharapkan, dengan adanya ikatan pemuda NU mampu membawa dampak bagi masyarakat tidak hanya dalam bidang keagamaan namun juga dalam hal kewirausahaan,” imbuh Latif.

KH Ahmad Fauzan, pengasuh ponpes Assalafiyah Al Mas’udiyah Bandungan yang hadir dalam ceramahnya memberikan wejangan kepada seluruh kader IPNU/IPPNU yang dilantik untuk turut serta aktif membina umat. ”Adanya ikatan (IPNU/IPPNU) ini adalah wujud adanya perhatian dari orang tua kalian yang NU dan mengharapkan keberlanjutan organisasi NU ini kepada putra/ putrinya. Karena itu, tanggung jawab umat dan kader pemuda NU ada di pundak IPNU/IPPNU,” kata Fauzan. (H14-74)


Sumber :
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/150-siswa-maarif-berlatih-aneka-wirausaha/

IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID -Bupati Kabupaten Semarang, dr. Mundjirin, S.pog memimpin Deklarasi Santri Cinta Damai dalam penutupan Workshop Pesantren For Peace Provinsi Jawa Tengah di Pon-Pes Edi Mancoro Tuntang Kabupaten Semarang, 1-3 November 2016. Acara yang diikuti oleh perwakilan 30 pondok pesantren se-Jawa Tengah tersebut mengambil tema “Membangun Pemahaman Perdamaian Berbasis Pesantren Persepektif HAM”. Acara ini diselenggarakan atas kerjasama CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Konrad Adenauer Stiftung (KAS) Jerman, European Union (EU), dan Pondok Pesantren Edi Mancoro sebagai panitia lokal.


Dalam sambutannya dr. Mundjirin mengatakan bahwa santri merupakan salah satu benteng pertahanan NKRI, serta pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan negara ini. Tetapi pada akhir-akhir ini beberapa orang menuduh pesantren sebagai sarang terorisme dan pembibitan orang-orang radikal. “Saya berharap acara seperti ini dapat memberikan pengalaman bagi para santri, sehingga dapat menunjukkan eksistensi mereka dalam mempromosikan HAM dan Perdamaian”, jelasnya di akhir sambutan.

Di akhir acara, Bupati memimpin pembacaan deklarasi Santri Cinta Damai yang diikuti oleh seluruh hadirin. Adapun bunyi deklarasi tersebut adalah


Bismillahirrahmaanirrahim

Atas Nama Cinta Perdamaian

Dengan Mengucakan Asma Allah yang Rahman dan Rahim, yang memiliki banyak sebutan namun satu ada-Nya.

Kami Santri Indonesia yang lair dalam keluarga Muslim, dibesarkan dan dididik dengan nilai-nilai Islami yang Universal dan meruakan Rahmat bagi seluruh alam; bersama ini kami mendeklarasikan:

Satu; Berpegang teguh pada aqidah dan ajaran Islam yang cinta damai

Dua; Bertanah air satu, tanah air Indonesia; Berideologi satu, Ideologi Pancasila; Berkonstitusi satu, Konstitusi UUD 1945; Berkebudayaan satu, kebudayaan Bhineka Tunggal Ika.

Tiga; Menolak segala macam dan bentuk kekerasan yang dilakukan atas nama agama, dalam hal ini khususnya agama Islam.

Empat; Menolak pemaksaan pemahaman yang dilakukan oleh para penganut kekerasan atas nama Islam dengan cara intimidasi.

Lima; Ikut bereran aktif dalam penanaman nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) di tengah-tengah Pesantren dan Masyarakat.

Enam; Ikut berperan aktif dalam pencegahan dan penanganan konflik di tengah-tengah masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi  rasa toleransi, persaudaraan, serta penghormatan atas hak-hak orang lain.

La Haula Wala Quwaata Illa Billahil ‘Aliyyil ‘Adzim


Hadir dalam acara diatas Direktur CSRC Dr. Irfan Abu Bakar, perwakilan Uni Eropa Saiti Gusrini, Camat Banyubiru, perwakilan Kemenag, NU, Muhamadiyah, dan tamu undangan. Sebelumnya selama tiga hari peserta mendapatkan materi-materi, yaitu “Hak Asasi Manusia dalam Islam” oleh Dr. Sidqan Hamzah (Dosen Undip), “Perdamaian Dalam Islam” oleh Haryo Aji Nugroho, Lc., M.Pd. (Dosen IAIN Salatiga), “Toleransi Dalam Islam” oleh KH. M. Dian Nafi (PWNU Jawa Tengah), dan “Resolusi Konflik” oleh Fahsin M. Fa’al, M.Si.


Kontributor LPP IPNU KABUPATEN SEMARANG

IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID -Dalam masyarakat yang majemuk merupakan hal yang lumrah akan adanya sebuah perbedaan. Oleh karena itu kemajemukan menyebabkan sulitnya dicapai sebuah titik temu. Tanpa adanya keinginan untuk mencapai titik temu, maka menciptakan toleransi adalah hal yang mustahil. Oleh karena itu harmonisasi merupakan kebutuhan bersama dalam masyarakat yang majemuk. Selain itu, upaya-upaya integratif harus selalu diusahakan, bertumpu kepada prakarsa masyarakat dan negara untuk mencapai keseimbangan sosial.


Hal di atas merupakan sebagian materi Toleransi Dalam Islam yang disampaikan oleh KH. M. Dian Nafi, Syuriyah PWNU Jawa Tengah. Materi tersebut disampaikan dalam Workshop Pesantren For Peace Provinsi Jawa Tengah di Pon-Pes Edi Mancoro Tuntang Kabupaten Semarang, 1-3 November 2016. Acara yang diikuti oleh perwakilan 30 pondok pesantren se-Jawa Tengah tersebut mengambil tema “Membangun Pemahaman Perdamaian Berbasis Pesantren Persepektif HAM”. Acara ini diselenggarakan atas kerjasama CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Konrad Adenauer Stiftung (KAS) Jerman, European Union (EU), dan Pondok Pesantren Edi Mancoro sebagai panitia lokal.

KH. Dian Nafi menjelaskan lebih jauh toleransi sebagai tindakan membiarkan orang lain berpendapat berbeda, melakukan hal yang tidak sependapat, tanpa diganggu. Batasan toleransi adlah hukum, negara, dan agama. Para santri harus bisa membedakan antara tolerasi dan toleransi. Toleransi sendiri dipegang oleh masyarakat, sedangkan tolerasi diegang oleh negara. Kadang kala keduanya tidak sepakat. “Pesantren seharusnya bukan hanya membangun pandangan hidup yang baik saja, tetapi juga membangun kualitas hidup yang lebih baik”, tandasnya di akhir sesi untuk menutu acara.


Selain materi di atas, peserta juga mendapatkan materi tentang “Hak Asasi Manusia dalam Islam” oleh Dr. Sidqan Hamzah (Dosen Undip), “Perdamaian Dalam Islam” oleh Haryo Aji Nugroho, Lc., M.Pd. (Dosen IAIN Salatiga), dan “Resolusi Konflik” oleh Fahsin M. Fa’al, M.Si. (PP GP Ansor). Acara ditutup pada hari kamis dengan Deklarasi Santri Cinta Damai yang dipimpin Bupati Kabupaten Semarang, dr. Mundjirin, S.Pog.


Kontributor LPP IPNU KABUPATEN SEMARANG

IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID -Perjalanan saya kali ini adalah tentang menjadi Fasilitator di dalam acara Workshop Pesantren For Peace Provinsi Jawa Tengah di Pondok Pesantren Edi Mancoro Tuntang Kabupaten Semarang, 1-3 November 2016. Untuk kedua kalinya saya menjadi Fasilitator acara PFP tersebut. Sedangkan menjadi fasilitator pertama PfP adalah dalam acara Workshop tingkat Kabupaten Demak di Hotel Amantis yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Kyai Gading Demak sebagai panitia lokal.

Dalam setiap kegiatan selalu ada hal-hal baru yang saya dapatkan. Wabil khusus dalam acara kali ini sangat istimewa karena hadir secara langsung Dr. Irfan Abu Bakar, Direktur CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam sebuah sesi setelah materi “Resolusi Konflik”, beliau menghampiri kami para fasilitator (saya sendiri, Gus Nashif Ubadah, Gus Aris Rofiqi, dan Gus Cholil) yang sedang berdiskusi, dan kebetulan sedang bersama kami juga Gus Fahsin M. Fa’al, selaku pemateri. Beliau mengapresiasi tentang materi yang sudah diberikan oleh Gus Fahsin, dan juga mengapresiasi kinerja para fasilitator. Namun beliau juga memberikan beberapa catatan serta beberapa materi lain. Diantara materi tersebut yang saya anggap agak menarik adalah menjadi Best Peace Builder.

Best Builder adalah duta perdamaian. Menjadi duta perdamaian harus siap menangani konflik. Menjadi duta perdamaian bukan bagi orang yang menjadi salah satu pihak dalam konflik itu sendiri, karena cara penanganan untuk hal-hal seperti itu juga berbeda. Dari pemaparan beliau, setidaknya ada beberapa catatan yang diberikan untuk bisa menjadi best peace builder:


PertamaSebagai seorang duta perdamaian harus bisa menerima pertentangan kepentingan dalam konflik. Perbedaan kepentingan itu sendiri adalah seringkali menjadi sumber utama adanya sebuah konflik. Oleh karena itu harus bisa difahami dan menerima adanya pertentangan kepentingan. Jika tidak menerima maka otomatis kita mengingkari adanya keinginan satu pihak, serta akan membuat kita memihak kepada kelompok lain. Padahal hal ini adalah larangan bagi seorang best peace builder.


Kedua; Menyadari kepentingan adalah hal yang alamiah. Hidup dalam masyarakat yang majemuk, pemikiran serta kepentingan yang berbeda adalah sesuatu yang alamiah, sesuatu yang sudah menjadi sunnatullah. Oleh karena itu perbedaan akan kepentingan tersebut harus dapat kita sadari dan kita terima.


KetigaTidak memihak. Larang bagi best peace builder adalah memihak kepada satu pihak. Keberpihakan akan menyebabkan cara-cara yang akan digunakan sudah tidak seimbang, serta membuat pemikiran kurang menjadi obyektif. Oleh karena itu menjadi best peace builder harus dapat merangkul semua pihak yang berkepentingan.


Keempat; Tidak ada kepentingan yang lebih diutamakan kecuali kepentingan umum dan kepentingan kelompok-kelompok tersebut. Kepentingan umum dan kepentingan kelompok tersebut harus diletakkan sebagai sebuah kepentingan yang sama tingginya. 


Kelima; Equal. Semuanya mempunyai derajat yang sama, tidak ada yang lebih tinggi antara yang satu dengan yang lain. Walaupun menjadi seorang duta perdamaian, maka tidak boleh merasa lebih bermoral, atau bahkan merasa lebih hebat dan lebih tahu dibanding yang lain. Perilaku yang tidak sama akan menyulitkan sendiri bagi duta perdamaian, serta membuat orang lain tidak respect.


Keenam; Tidak banyak yang sadar bahwa seseorang itu harus menjadi duta perdamaian. Tanggung jawab seperti itu lebih banyak diserahkan kepada negara, padahal negara sendiri belum pasti memahami dan menyadari akan tanggung jawabnya. Setiap orang mempunyai tanggung jawab yang sama dalam masyarakat. Oleh karena itu menjadi best builder perlu keputusan yang cepat dan tepat.


Ketujuh; Harus memperhatikan cara-cara untuk mencapai kepentingan, dan harus melihat apakah cara tersebut bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, seperti hukum, HAM, dan nilai-nilai kemanusiaan. Jangan kemudian seseorang itu beramar ma’ruf, tetapi juga melakukan kemunkaran. Agar apa yang dilakukan tersebut tidak melanggar norma atau peraturan yang ada, maka semenjak awal perlu dibutuhkan analisa yang cermat serta roadmap yang jelas serta tepat guna.


Kedelapan; Tindakan praktisnya adalah selalu memikirkan cara penanganan konflik. Cara dan tahapan penangan konflik harus difahami dan dikuasai oleh best peace builder. Tanpa memahami dan menguasai, maka hasil yang diharapkan tidak akan bisa tercapai.


Demikian adalah catatan yang saya dapatkan dan saya tuliskan. Semoga dapat bermanfaat, serta kita selalu tergugah untuk menyebarkan perdamaian di muka bumi ini. Salam Perdamaian !!!  





Kontributor LPP IPNU KABUPATEN SEMARANG

IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID - Sebelum adanya 'lasykar-lasykar' seperti lasykar jihad, lasykar cinta, lasykar pelangi, dan lasykar-lasykar yang lain; bahkan sebelum terbentuknya TNI, di negeri kita sudah dikenal banyak lasykar yang jelas berjuang dengan ikhlas untuk tanah air. Sebut saja misalnya, Lasykar Hizbullah pimpinan Kiai Zainal Arifin; Sabilillah di bawah pimpinan K.H. Masykur; Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo; Barisan Banteng pimpinan dr. Muwardi; Lasykar Rakyat; dan masih banyak lagi yang lain.

Demikian tulis KH Ahmad Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus dalam akun Facebook resmi pribadinya, "Ahmad Mustofa Bisri", Kamis (22/10).


Gus Mus menerangkan, lasykar-lasykar dan barisan-barisan itu, termasuk juga TKR (Tentara Kemanan Rakyat, red), di zaman revolusi, berbondong-bondong sowan kepada Kiai Subkhi Parakan Temanggung yang dijuluki Kiai Bambu Runcing dan Jenderal Bambu Runcing. Setiap hari ribuan orang dari berbagai 'kesatuan'/lasykar minta doa dan berkah beliau sbelum berangkat ke medan perjuangan.

“Di antara yang sowan, tercatat: KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur, KH. Zainul Arifin, KH. Saifuddin Zuhri, dan Panglima Besar Jenderal Soedirman sebelum bergerak ke Ambarawa,” jelas Pengasuh Pesantren Raudlatut Tholibin Rembang, Jawa Tengah ini.

Kiai Subkhi sendiri, lanjutnya, selaku Rais Syuriyah Cabang NU Temanggung, pada tanggal 25 Oktober 1945, setelah mendapat instruksi dari PBNU untuk jihad fi sabilillah, berjuang mengusir penjajah Belanda, bersama Pengurus NU Cabang dan Barisan Muslimin Parakan-Temanggung, mengadakan mujahadah selama 10 hari. Setelah itu diadakan latihan kemiliteran oleh Lasykar Hizbullah.

Dalam revolusi fisik yang berkecamuk antara 1945-1950, tambah Pj Rais Aam PBNU 2014-2015 ini, Kiai Subkhi bersama KHM. Siradj Payaman, KHM. Dalhar Watucongol, dan KH. Mandur Temanggung, serta tentara rakyat, berhasil mengusir NICA dan Sekutu dari Magelang; kemudian setelah bergabung dengan pasukan Jendral Soedirman, mengusir mereka pula dari Ambarawa.

“Rahmat Allah untuk Kiai Subkhi, Jendral Soedirman, para kiai dan santri pejuang kemerdekaan yang telah mendahului kita. Al-Fãtihah. Selamat Hari Santri,” tutup Gus Mus.

Saat berita ini ditulis, keterangan sejarah Gus Mus di beranda Facebooknya ini telah di-sukai oleh 2419 orang, 128 komentar, dan 648 kali dibagikan.

nu.or.id



IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID - Masih ada sebagian kecil masyarakat yang belum meyakini bolehnya melaksanakan peringatan tahunan (haul) bagi orang yang sudah wafat. KH MA Sahal Mahfudh yang sudah wafat 1.000 hari yang lalu telah memberikan uraian mengenai tata cara dan hukum melaksanakan haul.

Mbah Sahal menjawab pertanyaan Lutfi Wonosobo dalam bukunya "Dialog Problematika Umat" yang bertanya soal bagaimana hukumnya memperingati meningggalnya seseorang atau haul.

Peringatan haul memang sudah lazim dilakukan baik oleh organisasi atau perorangan. Ada yang dengan sederhana dengan mengundang saudara dan tetangga dengan membaca tahlil atau khatmil Qur'an.


Ada pula haul yang dilaksanakan dengan gebyar pengajian umum dengan forum terbuka dengan mengundang dai atau ulama. Intinya adalah bagaimana ada dakwah dan syi'ar agama yang terbuka untuk masyarakat umum.

Mbah Sahal menegaskan bahwa upacara haul dibenarkan dan tidak dilarang. Sebab kegiatan semacam ini sangat besar menghasilkan manfaat bagi umat.

Status hukum haul, kata Mbah Sahal, tidak bisa lepas dari bentuk kegiatan dan rangkaian acaranya. Berarti, menghukumi haul sama dengan menghukumi perbuatan yang terdapat dalam perhelatan itu.

Kata haul (حول) secara etimologis dalam istilah literatur fiqih terdapat dalam bab zakat. Haul bermakna sebagai syarat wajibnya zakat hewan ternak, emas, perak, serta harta dagangan. Jadi, haul berarti kekayaan harus dizakati bila berumur satu tahun.

Di sini bagi Mbah Sahal menyebutkan ada kesesuaian makna lughawi haul dengan acara haul. Sebab dalam kenyataannya acara haul dilakukan satu tahun sekali pada hari wafatnya orang yang diperingati haulnya.

Apa rangkaian acara haul yang tepat menurut Mbah Sahal? Ada tiga muatan peringatan haul yang selalu dilaksanakan oleh umat Islam Nusantara:

Pertama, tahlilan dirangkai doa kepada si mayyit. Kedua, pengajian umum yang terkadang dibacakan  sejarah singkat orang yang dihauli, mencakup: nasab, tanggal lahir/wafat, jasa-jasa serta keistimewaan yang patut diteladani. Dan ketiga, sedekah kepada orang yang hadir atau diantar langsung ke rumah-rumah.

Dalam menjelaskan bab tahlil/baca al-Qur'an dan doa untuk mayyit, Mbah Sahal merujuk Kitab Hujjah Ahl Sunnah wal Jama'ah karya KH Ali Ma'shum Al Jogjawi yang berpendapat bahwa pahala ibadah atau amal sholeh yang dilakukan orang masih hidup bisa sampai kepada si mayyit.

Dzikir dan doa semacam ini memiliki dua makna strategis. Pertama, minta kepada Allah dan memohon ampunan, ini yang diperbolehkan. Dan kedua, berdoa kepada si mayyit dan ini yang dilarang karena bisa masuk syirik (Surat Yunus ayat 106). Mbah Sahal juga menegaskan bahwa berdoa kepada si mayyit berbeda dengan tawassul (Surat Al Maidah ayat 35).

Sedangkan pengajian adalah salah satu dakwah billisan (ucapan) yang dapat memberikan wawasan, bimbingan dan penyuluhan untuk umat. Pengajian semacam ini akan turut serta perperan menyatukan umat dan meningkatkan kualitas ketaqwaan.

Adapun sedekah yang pahalanya diberikan atau dihadiahkan kepada mayyit oleh Mbah Sahal diperbolehkan. Sebab hal ini termasuk amal sholeh seperti disinggung dalam penjelasan sebelumnya.

Sangat indah sekali, walau Mbah Sahal sudah seribu hari yang lalu meninggalkan kita semua, beliau masih bisa memberikan tuntunan untuk semua umat Islam. Alfatihah.....

Oleh M Rikza Chamami, Sekretaris Lakpesdam NU Kota Semarang & Dosen UIN Walisongo

IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID - Jombang, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo meminta prajurit TNI untuk meneladani semangat perjuangan para Pahlawan Kemerdekaan. Hal itu disampaikan saat melakukan ziarah ke makam KH Hasyim Asyari di Pesantren Tebuireng Jombang, Selasa (27/9).

Jendral Gatot menceritakan peran penting KH Hasyim Asyari yang telah dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Dengan fatwa jihadnya almarhum telah mengobarkan semangat warga dan tentara untuk melawan penjajah. Saat awal terbentuknya TNI pada 5 Oktober 1945  terdengar kabar, bahwa pasukan penjajah Belanda kembali lagi dibonceng sekutu.



"Mendapat informasi akan ada serangan NICA, kemudian sejumlah petinggi negeri ini meminta fatwa kepada KH Hasyim Asyari di Tebuireng. Karena kekuatan TNI jelas tidak mumpuni menghadapi kekuatan penjajah," ujarnya.

Kemudian keluar Fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asyari pada 22 Oktober 1945 yang mewajibkan seluruh warga dengan radius tertentu yang boleh menjamak shalat, wajib hukumnya untuk mengangkat senjata melawan penjajah. "Dengan adanya fatwa jihad KH Hasyim ini semangat tentara dan warga kembali bangkit," tuturnya.

Peran KH Hasyim Asy'ari masih berlanjut. Menurut Panglima TNI ini, pada 9 November 1945 seluruh warga dan juga tentara sudah siap untuk bertempur, namun diminta untuk menunda KH Hasyim Asyari. Alasannya menunggu seorang ulama asal Cirebon yang memimpin perang, yakni KH Abbas. "KH Hasyim mengatakan, kita tunggu singa dari Jawa Barat datang," ujar Gatot menambahkan.

Karenanya, Jenderal Gatot mengatakan zairah ke makam pahlawan seperti KH Hasyim Asy'ari di Tebuireng ini penting dilakukan agar generasi muda prajurit TNI bisa meneladani perjuangan para pendahulunya.

"Generasi TNI harus bisa mencontoh melanjutkan perjuangan yang sekarang semakin sulit, seperti kata Bung Karno. Kalau dulu berjuang hanya mengusir penjajah, kini yang dihadapi adalah bangsa sendiri. Karenanya berjuang harus tanpa pamrih," imbuhnya.

Ziarah ke makam pahlawan di era Panglima TNI Gatot Nurmantyo ini diharapkan terus berlanjut dilakukan menjelang peringatan HUT TNI yang jatuh pada 5 Oktober. "Hasil diskusi kita sudah sepakat, membudayakan melakukan ziarah menyongsong peringatan HUT TNI," tandasnya. 


nu.or.id


IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID - Ambarawa -- Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) meluncurkan senam Islam Nusantara (SIN). SIN mengolaborasi beberapa gerakan senam dengan gerakan shalat. Karena gerakan-gerakan shalat sejatinya memiliki unsur-unsur olahraga yang bermanfaat.

Secara umum, kata dia, SIN terbagi menjadi tiga dasar gerakan. "Yakni pemanasan, inti gerakan senam yang menggabungkan sejumlah gerakan wudlu dan shalat serta gerakan peregangan," kata pencipta SIN, Muslih di sela launching SIN di lapangan Panglima Besar (Pangsar) Jendral Sudirman, Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Ahad (25/9).


Tiap- tiap gerakan, kata Ketua LPNU Kabupaten Semarang ini, memiliki makna, seperti gerakan wudhu yang maksud tujuannya agar untuk melakukan gerakan selanjutnya tidak kaku.

Demikian pada gerakan- gerakan senam yang mengadopsi gerakan shalat, juga dimaksudkan agar pada  setiap gerakan senam yang dilakukan kelenturan badan tetap terjaga.

"Secara filosofis, selain untuk menyehatkan jasmani dan rohani,  gerakan- gerakan SIN ini juga ingin mengajak umat untuk mencintai shalat melalui senam," kata Muslih.

Ia juga mengakui, setelah gerakan- gerakan SIN didapatkan barulah dikombinasi dengan musik. "Musik untuk mengiringi senam ini memiliki unsur Jawa dan Melayu," tambahnya.

Sementara itu, Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi menginginkan SIN tidak hanya dibumukan di Kabupaten Semarang atau Jawa Tengah.

Namun SIN juga harus menggema di seluruh Nusantara. "Makanya saya minta peserta yang memiliki telepon pintar maupun media sosial agar memasang pada status agar SIN bisa didengar diketahui lebih luas.

Nahrawi juga berjanji Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) akan mendukung SIN agar digalakkan di seluruh tanah air.


Foto : kompas.com


VIDEO AMATIR DARI PESERTA
 
 
 
  
 
  
 
FOTO - FOTO DARI PESERTA
KLIK DISINI !! 

IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID - Dalam kitab An-Nawâdir karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Qalyubi, suatu kali Abu Yusuf Ya’qub bin Yusuf bercerita tentang salah seorang sahabatnya yang unik. Ia wara’ dan takwa meski orang-orang mengenal karibnya itu sebagai orang fasik pendosa.

Sudah dua puluh tahun Abu Yusuf melakukan tawaf di sekitar Ka’bah bersamanya. Tak sepertinya Abu Yusuf yang berpuasa terus menerus (dawâm), sahabatnya ini sehari puasa sehari berbuka.


Memasuki 10 hari bulan Dzulhijjah, sahabat Abu Yusuf ini menunaikan puasa secara sempurna kendati ia berada di padang sahara yang tandus. Bersama Abu Yusuf, ia masuk kota Thurthus dan menetap di sana untuk beberapa lama. Di tempat gersang inilah, persisnya di sebuah kawasan reruntuhan bangunan, ia wafat tanpa seorang pun yang tahu kecuali Abu Yusuf.

Abu Yusuf pun keluar mencari kain kafan dan alangkah kagetnya tatkala dirinya kembali menyaksikan kerumunan orang berkunjung, mengafani, sekaligus menyalati jenazah sahabatnya tersebut di tempat yang semula tak berpenghuni. Karena begitu ramainya, Abu Yusuf sampai tak bisa masuk lokasi reruntuhan bangunan itu.

Para pelayat menyebut-nyebut almarhum sebagai orang yang zuhud dan termasuk dari kekasih Allah (waliyyullah).

“Subhanallah, siapa yang mengumumkan kematiannya hingga orang-orang berbondong-bondong bertakziah, menyalati, dan menangisi kepergiannya?” Kata Abu Yusuf.

Setelah melalui perjuangan keras, Abu Yusuf akhirnya berhasil menghampiri jenazah sahabatnya tersebut dan terperanjat saat melihat kain kafan yang tak biasa. Pada kain itu tercantum tulisan berwarna hijau:
هذا جزاء من آثر رضا الله على رضا نفسه وأحب لقاءنا فأحببنا لقاءه

“Inilah balasan orang yang mengutamakan ridha Allah ketimbang ridha dirinya sendiri; orang yang rindu menemui-Ku dan karenanya Aku pun rindu menemuinya.”

Selepas melaksanakan shalat jenazah dan mengebumikannya, rasa kantuk berat menghampiri Abu Yusuf hingga akhirnya tertidur. Di dunia mimpi inilah Abu Yusuf menyaksikan sahabatnya yang ahli puasa tersebut menunggang kuda hijau serta berpakaian hijau dengan sebuah bendera di tangannya. Di belakangnya ada seorang pemuda tampan berbau harum. Di belakang pemuda ini, ada dua orang tua diikuti di belangnya lagi satu orang tua dan satu pemuda.

“Siapa mereka?” Tanya Abu Yusuf.

“Pemuda tampan itu adalah Nabi kita Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam. Dua orang tua itu adalah Abu Bakar dan Umar, sementara orang tua dan pemuda itu adalah Utsman dan Ali. Dan akulah pemegang bendera di depan mereka,” jelas almarhum sahabatnya dalam mimpi itu.

“Hendak ke manakah mereka?”

“Mereka ingin meziarahiku.”

Abu Yusuf pun kagum, “Bagaimana kau bisa mendapatkan kemuliaan semacam ini?”

“Sebab aku memprioritaskan ridha Allah dibanding ridha diriku sendiri dan aku berpuasa pada 10 hari Dzulhijjah,” jawab sahabatnya.

Abu Yusuf pun bangun dari tidur, lalu sejak itu ia tak pernah meninggalkan amalan puasa itu hingga akhir hayat.

Anjuran memperbanyak amal saleh pada 10 hari pertama Dzulhijjah termaktub dalam beberapa hadits. Misalnya hadits riwayat Ibnu ‘Abbas yang ada di dalam Sunan At-Tirmidzi yang mengatakan, “Tiada ada hari lain yang disukai Allah SWT untuk beribadah seperti sepuluh hari ini (Dzulhijjah).”

Meskipun disebutkan kata “sepuluh hari”, puasa jika dimulai 1 Dzulhijjah cukup dijalankan sembilan hari karena tanggal 10 Dzulhijjah (juga hari tasyriq: 11, 12, 13 Dzulhijjah) adalah hari terlarang untuk berpuasa. Sebagaimana pendapat An-Nawawi sebagaimana dikutip Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi bahwa yang dimaksud dengan ayyamul ‘asyr (10 hari) adalah 9 hari sejak tanggal 1 Dzulhijjah. Wallahu a’lam.


اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاَتُهُ

 (3ء) اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ
اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ.
اَلْحَمْدُ للهِ الْقَائِلِ (وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً)، وَأَشْهَدُ أّنْ لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
(أَمَّا بَعْدُ).
فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ وَأَحَثُّكُمْ عَلَى طَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ.




Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar


Kaum Muslimin dan Muslimat yang berbahagia


Umat Islam yang berada di tanah air menyambut hari raya Idul Adha yang mulia dengan takbir, tahlil, dan tahmid sebagai ungkapan rasa syukur, sedangkan jutaan umat Islam di tanah suci Makkah, Arafah dan Mina sedang berkonsentrasi menunaikan manasik haji. Mereka datang dari berbagai pelosok dunia, dari berbagai bangsa dan suku, dari latar belakang yang berbeda, menyatu dalam kepasrahan kepada Allah SWT. Mereka menanggalkan segala atribut duniawi, meninggalkan berbagai aktivitas sehari-hari untuk menghadap Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang dengan penuh khusyu dan keikhlasan. Secara serentak, mereka mengumandangkan kalimat talbiyah:


لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ.



“Kami penuhi panggilan-Mu wahai Allah, wahai Allah kami datang memenuhi seruan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan karunia hanyalah milik-Mu, milik-Mu segala kekuasaan dan kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu”.


Pada momen ini pula umat Islam yang mampu ditekankan untuk melaksanakan ibadah kurban. Berbagi daging dan kebahagiaan kepada sesama. Menyembelih sebagian harta kita untuk diberikan kepada orang lain, terutama yang membutuhkan. 


Dari sinilah kita semua belajar tentang kesetaraan manusia di hadapan Allah, tanpa memandang jabatan, status sosial, latar belakang pendidikan, suku, bangsa, serta kelas ekonomi. Ibadah kurban memberikan pesan kepada umat Islam tentang pentingnya solidaritas, empati terhadap orang lain, serta menyembelih ego pribadi untuk kemanfaatan bersama.


Hadirin yang berbahagia,


Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr r.a. bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW: “Ajaran Islam apakah yang baik?” Nabi SAW menjawab, 


تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ (رواه البخاري ومسلم)



“Memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan kepada orang yang tidak kamu kenal.” (HR. Bukhari, No: 28, Muslim, No: 126).


Dari hadis di atas, sepintas kita menyaksikan betapa agungnya nilai-nilai Islam yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Tidak hanya masalah ibadah saja yang diajarkan Islam, tetapi masalah-masalah kehidupan sosial pun menjadi sorotan. Hadis tersebut mengajak umat Islam, bahkan umat manusia secara keseluruhan untuk memperhatikan nasib masyarakat di sekitarnya. Tanggung jawab untuk menyantuni orang-orang lemah, fakir miskin, yatim piatu, para manula, dan mereka yang membutuhkan, tidak hanya dilimpahkan kepada para pemimpin. Tetapi itu semua merupakan tanggung jawab setiap orang yang mengaku dirinya sebagai muslim. 


Jawaban Rasulullah ketika ditanya seorang sahabatnya tentang amalan Islam apakah yang paling baik, beliau langsung mengarahkan orang itu untuk memberikan bantuan dan memasyarakatkan salam kepada siapa saja, baik pada orang yang dikenal maupun pada orang yang belum dikenal sebelumnya. Bantuan tersebut bukan hanya berupa dana atau makanan, tetapi juga meyangkut segala kebutuhan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya memberikan ilmu, pengalaman, nasihat, kebijaksanaan dan sebaginya. Sedangkan menebar salam maksudnya memasyarakatkan suasana yang damai dan saling mencintai antara sesama umat manusia. 

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar



Ketika seorang muslim mendapatkan rezeki berupa harta yang cukup, ia harus ingat saudara-saudaranya yang lain. Dengan kata lain, ia harus merasa empati pada mereka. Islam memandang bahwa rezeki yang barakah adalah rezeki yang cukup untuk diri sendiri dan orang lain, bukan rezeki yang banyak dan berlimpah tetapi tidak barakah. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, Nabi SAW bersabda: 


طَعَامُ الِاثْنَيْنِ كَافِي الثَّلاَثَةِ، وَطَعَامُ الثَّلاَثَةِ كَافِي الأَرْبَعَةِ (رواه البخاري ومسلم)



“Makanan satu orang cukup untuk dua orang, dan makanan dua orang cukup untuk empat orang”. (HR. Bukhari, No: 5392, Muslim, No: 2058).


Pengertian hadis di atas menyebutkan bahwa makanan untuk satu orang dapat mencukupi dua orang, makanan untuk dua orang dapat mencukupi empat orang, dan seterusnya. Hadis ini mengarahkan supaya setiap orang muslim memiliki kepedulian kepada mereka yang lemah dan miskin, sehingga dapat mengantarkan mereka pada kehidupan yang layak. Selain dari itu, hadis ini mengisyaratkan juga agar setiap orang, mengonsumsi makanan secara sederhana dan tidak berlebihan. Hal ini sangat berkaitan erat dengan pola hidup sederhana dan kesehatan fisik maupun mental manusia. Mengonsumsi makanan secara berlebihan akan mengantarkan seseorang untuk menggali kuburnya sendiri. Makan berlebihan dapat menyebabkan berbagai penyakit yang membinasakan dan merusak terhadap fisik dan rohani umat manusia.


Seorang muslim yang senantiasa menginfakkan sebagian rezekinya pada orang-orang yang membutuhkan, akan merasa cukup dengan segala karunia Allah kepadanya. Meskipun rezekinya tidak banyak, tetapi itu dirasakan sebagai suatu kecukupan yang tetap ia syukuri. Hatinya selalu tentram dan hidupnya pun nyaman. Dengan kedermawanannya, banyak orang yang bersimpati kepadanya, dan berdoa untuk kebaikan orang tersebut dalam segala kehidupannya. Inilah yang dimaksud dengan keberkahan. Dalam hal memperoleh rezeki, umat Islam diarahkan agar meraih keberkahan dari rezeki tersebut, bukan meraih banyak jumlahnya. Karena harta yang banyak dan berlimpah kalau tidak disertai keberhakan akan menjadi sia-sia dan bahkan akan menjerumuskan orang tersebut dalam prilaku yang tercela.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahil hamd,



Berbeda halnya dengan orang yang kikir, tidak memiliki rasa empati terhadap sesama, meskipun hartanya banyak dan berlimpah ruah, tetapi ia merasa hal itu masih kurang dan tidak cukup baginya. Sehingga ia merasa berat untuk mengeluarkan sebahagian rezekinya pada mereka yang membutuhkan. Hidupnya selalu dikejar-kejar oleh nafsu duniawi, seolah-olah ia ingin mencengkeram seisi dunia ini dengan jari-jari tangannya. Akibatnya, ia hidup dengan prinsip semua orang harus melayaninya bukan aku yang harus melayani mereka. Sikap demikian inilah yang membuat hidupnya tidak barakah dan tidak pernah merasa cukup atas rezeki yang ia dapatkan. Manusia seperti ini, digambarkan seperti orang yang meminum air laut, semakin banyak diminum, merasa semakin haus dan dahaga.


Manusia muslim harus memperhatikan nasib masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan yang lebih sulit dan menderita dari dirinya. Ia harus empati dan iba untuk menolong dan meringankan beban mereka. Jika hal itu terwujud, maka jurang kemiskinan pun bisa diminimalisir dan angka gejolak sosial pun dapat ditekan. Dengan demikian, masyarakat muslim akan sejahtera sesuai dengan tatanan dan tuntunan agamanya. Alangkah agungnya ajaran Islam yang memandang semua umatnya adalah bersaudara yang harus saling membantu dan menolong antara satu dengan yang lain. Bahkan, lebih jauh lagi, Islam melalui sabda Rasulullah SAW memandang bahwa iman seseorang tidak sempurna sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. 


لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (رواه البخاري ومسلم)



“Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari, No: 13, Muslim, No: 45).

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar



Kaum Muslimin dan Muslimat yang kami cintai,


Selain menyerukan untuk empati atau solidaritas pada sesama, pengarahan berikutnya dari hadis di atas adalah menyebarkan salam. Ia merupakan pesan yang sangat tinggi bagi kemanusiaan berupa tegur sapa yang mengandung arti perdamaian dan kesejahteraan. Karena mengandung nilai perdamaian dan kesejahteraan itulah, ucapan tersebut harus disebarluaskan pada setiap orang, baik orang yang dikenal maupun tidak. Hidup yang damai dan sejahtera adalah dambaan semua manusia yang beradab. Tidak ada seorang pun yang menginginkan adanya kekerasan, dan tindakan yang tidak berperikemanusiaan mengenai dirinya. Oleh karena itu, Islam sebagai agama yang membawa rahmat untuk semesta alam (rahmatan lil alamin), sesuai namanya, juga menyerukan umatnya untuk menebarkan perdamaian dan saling mencintai antar sesama manusia.Cinta kasih adalah modal utama untuk mewujudkan hidup rukun, aman, dan tentram. Tetapi jika ada pihak atau sekelompok manusia yang menginginkan untuk mencabik nilai-nilai yang tinggi itu, maka Islam melalui sabda Nabi Muhammad SAW, dengan tegas menyatakan bahwa mereka tidak akan memperoleh kesuksesan di dunia dan akhirat.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar



Demikianlah, ajaran Islam yang paripurna dan senantiasa relavan untuk diamalkan umat manusia sampai akhir masa, demi mencapai kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Bangsa yang berkeadaban adalah umat yang selalu memperhatikan nasib masyarakat sekitarnya. Mereka dapat hidup tenang dan damai, jika masyarakatnya berkecukupan. Sebaliknya mereka merasa gundah dan gelisah, jika masyarakatnya hidup susah. Hal ini digambarkan Nabi SAW sebagaimana hadis dari Nu’man bin Basyir: 


تَرَى المُؤْمِنِينَ فِي تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، كَمَثَلِ الجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالحُمَّى (رواه البخاري ومسلم)



“Kamu melihat kaum mukminin dalam hal sayang menyayangi, cinta mencintai, dan kasih mengasihi, bagaikan satu tubuh, jika ada salah satu anggota tubuh yang mengeluh (sakit), maka anggota-anggota tubuh lainnya ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan merasa demam”. (HR.  Bukhari, No 6011; Muslim, No 2586).


Sikap dan cara pandang itulah yang harus kita usung bersama, yaitu solidaritas terhadap sesama. Dalam nuansa Idul Adha ini, di balik merayakan kegembiraan dan kemenangan kita dengan takbir, tahlil, dan tahmid, kita pun harus menengok saudara-saudara kita yang masih hidup dalam garis kemiskinan. Kepada mereka, kita ulurkan tangan. Untuk mereka, kita hentikan gaya hidup yang berlebihan. Marilah kita berbagi dan empati dalam kerangka solidaritas sosial untuk bahu membahu mewujudkan masyarakat yang mapan dan sejahtera.


Berkaitan dengan hal inilah maka pada hari Idul Adha dan hari-hari Tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Dzul Hijjah), diperintahkan kepada kita agar melaksanakan ibadah kurban. Kurban itu diarahkan agar dilakukan secara ikhlas, semata-mata mengharap keridhaan Allah SWT. Ibadah itu dilaksanakan karena Allah, dan mengahrap keridhaan-Nya. Sedangkan daging kurbannya adalah diperuntukkan bagi mereka yang hidup dalam kekurangan dan amat membutuhkan protein hewani. Tidaklah akan sampai kepada Allah darah dan daging kurban itu, yang sampai kepada Allah adalah ketakwaan dari mereka yang melakukan kurban tersebut.


لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ



“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah Telah menundukkannya untukmu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepadamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Haj, 22:37).


عِبَادَاللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فِي هذَا الْعِيْدِ السَّعِيْدِ وَأَحَثُّكُمْ عَلَى طَاعَتِهِ، فَمَنْ أَطَاعَهُ فَهُوَ السَّعِيْدُ وَمَنْ أَعْرَضَ وَتَوَلَّى فَهُوَ فِي الضَّلاَلِ الْبَعِيْدِ، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِي وَلَكُمْ وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.


Khutbah II




 (7x) اَللهُ أَكْبَرُ
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ أَشْهَدُ أَنْ لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَرْسَلَهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ، اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. اَللّهُمَّ ارْضَ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ وَعَنْ جَمِيْعِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، اَللّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ إِيْمَانًا كَامِلًا وَيَقِيْنًا صَادِقًا وَقَلْبًا خَاشِعًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَتَوْبَةً نَصُوْحًا، اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمْسُلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ، اَللّهُمَّ أَصْلِحِ الرُعَاةَ وَالرَّعِيَّةَ وَاجْعَلْ إِنْدُوْنِيْسِيَّا وَدِيَارَ الْمُسْلِمِيْنَ آمِنَةً رَخِيَّةً، رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فىِ السِّرِّ وَالْعَلَنِ وَجَانِبُوْا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِيْ الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ.




Oleh KH Zakky Mubarak, Rais Syuriyah PBNU

IPNUIPPNUKABSEMARANG.OR.ID -
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang saya hormati. Belakangan ini saya resah atas beredarnya kabar seorang ustadz yang membolehkan kurban seekor kambing untuk beberapa orang karena Rasulullah SAW pernah melakukannya. Padahal yang saya tahu sejak dulu, kurban kambing hanya untuk satu orang.

Pertanyaan saya, bolehkah kita berkurban satu kambing untuk beberapa orang karena mengikuti kurban Rasulullah SAW? Mohon penjelasannya. Kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Nurul Yaqin/Jakarta)


Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Penyembelihan hewan kurban merupakan ibadah yang sangat dianjurkan di musim-musim haji. Para ulama telah menentukan waktu penyembelihan, cara penyembelihan, ketentuan pembagian daging kurban, dan juga hewan mana yang bisa menjadi hewan kurban.



Rasulullah SAW pernah menyembelih satu hewan kurban yang diperuntukkan untuk dirinya dan umatnya yang demikian banyak itu. Hal ini bisa diketahui dari doa yang dibaca Rasulullah saat menyembelih hewan kurbannya sebagai berikut.




Artinya, “Tuhanku, terimalah kurbanku ini untukku dan umatku.”


Hadits Rasulullah SAW ini dipahami oleh para ulama sebagai bentuk kepedulian Rasulullah SAW yang menyertakan umatnya dalam pahala kurban kambing yang dia sembelih. Sedangkan kurbannya itu sendiri hanya diperuntukkan bagi dirinya. Dengan kurban Rasulullah, gugurlah tuntutan ibadah kurban terhadap semua orang. Dari sini ulama menyimpulkan bahwa hukum ibadah kurban itu pada dasarnya sunah kifayah yang bila dikerjakan oleh salah seorang dari mereka, maka tuntutan berkurban dari mereka sudah memadai. Lain soal kalau kurban diniatkan nadzar, maka hukumnya menjadi wajib. Karenanya para ulama sepakat bahwa satu kambing hanya bisa diperuntukkan kurban bagi satu orang. Imam An-Nawawi menyebutkannya sebagai berikut.
 تجزئ الشاة عن واحد ولا تجزئ عن أكثر من واحد لكن إذا ضحى بها واحد من أهل البيت تأدى الشعار في حق جميعهم وتكون التضحية في حقهم سنة كفاية وقد سبقت المسألة في أول الباب


Artinya, “Seekor kambing kurban memadai untuk satu orang, dan tidak memadai untuk lebih dari satu orang. Tetapi kalau salah seorang dari anggota keluarga berkurban dengan satu ekor, maka memadailah syiar Islam di keluarga tersebut. Ibadah kurban dalam sebuah keluarga itu sunah kifayah. Masalah ini sudah dibahas di awal bab,” (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz 8, halaman 397).


Secara lebih jauh, Ibnu Hajar mengulas praktik kurban Rasulullah SAW. Menurutnya, kurban memang untuk satu orang. Tetapi orang yang berkurban dapat berbagi pahala kepada orang lain.


 تُجْزِئُ ( الشَّاةُ ) الضَّائِنَةُ وَالْمَاعِزَةُ ( عَنْ وَاحِدٍ ) فَقَطْ اتِّفَاقًا لَا عَنْ أَكْثَرَ بَلْ لَوْ ذَبَحَا عَنْهُمَا شَاتَيْنِ مُشَاعَتَيْنِ بَيْنَهُمَا لَمْ يَجُزْ ؛ لِأَنَّ كُلًّا لَمْ يَذْبَحْ شَاةً كَامِلَةً وَخَبَرُ اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّةِ مُحَمَّدٍ مَحْمُولٌ عَلَى التَّشْرِيكِ فِي الثَّوَابِ وَهُوَ جَائِزٌ وَمِنْ ثَمَّ قَالُوا لَهُ أَنْ يُشْرِكَ غَيْرَهُ فِي ثَوَابِ أُضْحِيَّتِهِ وَظَاهِرُهُ حُصُولُ الثَّوَابِ لِمَنْ أَشْرَكَهُ وَهُوَ ظَاهِرٌ إنْ كَانَ مَيِّتًا قِيَاسًا عَلَى التَّصَدُّقِ عَنْهُ وَيُفَرَّقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَا يَأْتِي فِي الْأُضْحِيَّةِ الْكَامِلَةِ عَنْهُ بِأَنَّهُ يُغْتَفَرُ هُنَا لِكَوْنِهِ مُجَرَّدَ إشْرَاكٍ فِي ثَوَابِ مَا لَا يُغْتَفَرُ ثُمَّ رَأَيْت مَا يُؤَيِّدُ ذَلِكَ وَهُوَ مَا مَرَّ فِي مَعْنَى كَوْنِهَا سُنَّةَ كِفَايَةٍ الْمُوَافِقُ لِمَا بَحَثَهُ بَعْضُهُمْ أَنَّ الثَّوَابَ فِيمَنْ ضَحَّى عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ لِلْمُضَحِّي خَاصَّةً لِأَنَّهُ الْفَاعِلُ كَالْقَائِمِ بِفَرْضِ الْكِفَايَةِ



Artinya, “(Seekor kambing) baik domba maupun kambing kacang itu memadai untuk kurban (satu orang) saja berdasarkan kesepakatan ulama, tidak untuk lebih satu orang. Tetapi kalau misalnya ada dua orang menyembelih dua ekor kambing yang membaur sebagai kurban bagi keduanya, maka tidak boleh karena masing-masing tidak menyembelihnya dengan sempurna. Hadits ‘Tuhanku, inilah kurban untuk Muhammad dan umat Muhammad SAW,’ mesti dipahami sebagai persekutuan dalam pahala. Ini boleh saja. Dari sini para ulama berpendapat bahwa seseorang boleh menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya. Secara tekstual, pahala itu didapat bagi orang menyertakan orang lain. Ini jelas, meskipun orang yang disertakan itu sudah wafat. Hal ini didasarkan pada qiyas sedekah atas mayit. Tentu harus dibedakan antara sedekah biasa dan ibadah kurban sempurna. Karena di sini sekadar berbagi pahala kurban dibolehkan. Saya melihat dalil yang memperkuat pernyataan ini seperti pernah dijelaskan di mana hukum ibadah kurban adalah sunah kifayah. Hal ini sejalan dengan bahasan sejumlah ulama yang menyebutkan bahwa pahala orang yang berkurban untuknya dan keluarganya itu sejatinya untuk dirinya sendiri. Karena, orang pertama lah yang berkurban, sama halnya dengan orang yang menunaikan ibadah fardhu kifayah,” (Lihat Ahmad bin Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, cetakan keempat, tahun 2011, juz 4, halaman 354-355).


Bagaimana memahami kurban untuk satu orang sementara pahalanya bisa untuk orang lain? Sulaiman Al-Bujairimi menyelesaikan pernyataan yang tampak kontradiksi itu. Menurutnya, dua pernyataan itu tidak saling menegasikan. Demikian keterangannya.


قَوْلُهُ : ( وَتُجْزِئُ الشَّاةُ ) فَإِنْ قُلْت إنَّ هَذَا مُنَافٍ لِمَا بَعْدَهُ حَيْثُ قَالَ : فَإِنْ ذَبَحَهَا عَنْهُ ، وَعَنْ أَهْلِهِ أَوْ عَنْهُ وَأَشْرَكَ غَيْرَهُ فِي ثَوَابِهَا جَازَ . أُجِيبُ : بِأَنَّهُ لَا مُنَافَاةَ لِأَنَّ قَوْلَهُ هُنَا عَنْ وَاحِدٍ أَيْ مِنْ حَيْثُ حُصُولِ التَّضْحِيَةِ حَقِيقَةً وَمَا بَعْدَهُ الْحَاصِلُ لِلْغَيْرِ إنَّمَا هُوَ سُقُوطُ الطَّلَبِ عَنْهُ ، وَأَمَّا الثَّوَابُ وَالتَّضْحِيَةُ حَقِيقَةً فَخَاصَّانِ بِالْفَاعِلِ عَلَى كُلِّ حَالٍ



Artinya, “(Satu ekor kambing [untuk satu orang, tidak lebih]). Kalau Anda bertanya, ‘Pernyataan ini menafikan kalimat setelahnya yang menyebutkan (Kalau seseorang menyembelih kurban untuk dirinya dan keluarganya, atau menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya, maka boleh)’, kami akan menjawab bahwa pernyataan pertama tidak menafikan pernyataan kedua. Karena, frasa ‘untuk satu orang’ di sini maksudnya adalah hakikat kurban. Sementara frasa selanjutnya hanya menerangkan gugurnya anjuran sunah ibadah kurban ‘untuk orang lain’. Sedangkan perihal pahala dan kurban secara hakiki bagaimanapun itu khusus hanya untuk mereka yang berkurban,” (Lihat Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi alal Khathib, Beirut, Darul Fikr, 2007 M/1427-1428 H, juz 4, halaman 333).


Ada baiknya kami sertakan di sini argumentasi yang diajukan Ibnu Rusyd dari Madzhab Maliki. Ia menjelaskan kenapa ulama sepakat kurban satu ekor kambing hanya untuk satu orang.


وذلك أن الأصل هو أن لا يجزي إلا واحد عن واحد، ولذلك اتفقوا على منع الاشتراك في الضأن. وإنما قلنا إن الأصل هو أن لا يجزي إلا واحد عن واحد، لأن الأمر بالتضحية لا يتبعض إذ كان من كان له شرك في ضحية ليس ينطلق اسم مضح إلا إن قام الدليل الشرعي على ذلك



Artinya, “Karena memang pada dasarnya ibadah kurban seseorang itu hanya memadai untuk satu orang. Karenanya para ulama sepakat dalam menolak persekutuan kurban beberapa orang atas seekor kambing. Kenapa kami katakana ‘pada dasarnya ibadah kurban seseorang itu hanya memadai untuk satu orang’? Pasalnya, perintah kurban tidak terbagi (untuk kolektif, tetapi per orang). Ketika ketika orang bersekutu atas seekor hewan kurban, maka sebutan ‘orang berkurban’ tidak ada pada mereka. Lain soal kalau ada dalil syara’ yang menunjukkan itu,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, halaman 396).


Dari pelbagai keterangan di atas, kita dapat memahami bahwa ulama sepakat atas kurban satu ekor kambing hanya untuk seorang. Hanya saja pahalanya bisa dibagi kepada orang lain. Jadi dua hal ini harus dipisahkan, antara kurban dan pahala.


Dari sini pula kita dapat memahami bahwa hadits adakalanya dapat langsung dipahami secara tekstual. Tetapi adakalanya pemahaman sebuah hadits tertunda karena menuntut analisa dan kajian lebih mendalam, tidak sekadar tekstual.


Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.


Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb

KONTAK KAMI (VIA E-MAIL)

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget